Selasa, 10 Juni 2014

Tulisan Hina, Cokkkk Bangga!!!

Tulisan Hina, Cokkkk Bangga!!!

Saya baru sadar malam ini; bahwa sebenarnya saya ini masih belum bisa menulis. Dilihat dari segi manapun, tetap saja tulisan saya jelek. Sebenarnya saya heran, kenapa saya masih juga belum bisa menulis dengan baik sampai umur saya yang setua ini? Tapi ada yang lebih aneh lagi. Tadi siang ada orang yang meminta saya untuk mengajarinya menulis—ya,... saya merasa ok gitu dalam hati. Terus saya berpikir, sebenarnya orang ini mau ngajak berantem atau bagaimana? Lha wong tulisan saya masih nggak karuan, nggak kelihatan ujung pangkalnya—merendah—kok saya disuruh ngajarin nulis.

Hal itu juga yang membuat saya sadar dengan hal yang juga cukup penting: bahwa minat orang-orang untuk membaca tulisan saya adalah nol. Ya, saya sadar karena memang tulisan saya jelek. Eh, bukan jelek, cuma tidak bagus sama sekali.

Sebenarnya sedih menghina tulisan sendiri, tapi ini saya lakukan supaya saya bisa menyadarkan diri saya sendiri. Ya, saya kan ndak mau jadi orang yang pengku. Saya masih mau lebih banyak belajar lagi, supaya saya masih tetap menjadi orang yang bodoh, orang yang kosong, tidak frustasi karena belajar nulis sudah lama, tapi masih belum bisa. Duh jan, loro cokk...!!! 

Saya berpikir lagi. Kira-kira kapan saya bisa menyamai penulis-penulis yang saya kagumi, seperti penulis pemula idola saya: Uppps... nggak jadi, ah... Tapi memang sih, belum banyak penulis hebat yang saya kenal. Iya juga ya, kira-kira kapan saya bisa menyamai Pramoedya Ananta Toer atau yang sekarang ini ya Emha Ainun Nadjib atau yang lebih dekat lagi seperti Pakde Dalbo misalnya. Aduh, saya kok seperti mimpi saja, ya... Apa saya sudah hampir gila? Waduh gawat ini, jangan sampai saya masuk rumah sakit jiwa. Saya nggak mau lah, kan malu sama CALEG yang gagal, masak tempat mereka saya rebut. Itu kan HINA.

Kadang-kadang saya berandai-andai, saya pengen nyoba deketin orang-orang hebat yang pinter nulis, terus saya belah kepalanya. Habis itu, saya lihat sebenarnya otaknya itu terbuat dari apa? Jadi kalau bisa otak saya mau saya bentuk seperti itu. COOKKK BAR BAR IKU JENENGE...!!!. ora open. Daripada saya penasaran terus mati jadi hantu, gimana hayo? Hantu kan masuk neraka, saya nggak maulah masuk neraka.

Hehehe nggak lah saya cuma bercanda kok, masa iya saya tega belah kepala manusia, belah kepala burung saja saya gak berani. Saya kan takut darah, hiii....

Laju makmano mun cak ini? (Terus gimana kalo kayak gini?)

Tapi ya sudahlah, nggak apa-apa. Biarpun tulisan saya jelek, masih ada kebanggaan dalam tulisan saya.

Coookkk, wes elek bangga!!!

Lho, walaupun jelek-jelek gini, aslinya emang nggak bagus lho. Jangan salah.

Dan sekaligus saya tau, bahwa sebenarnya saya sama sekali tidak gila. Ya sudah, saya mau minum obat dulu. Obat penenang, buat ngurangi gejala gangguan jiwa. Ternyata Madura dingin ya.

1+1=2 dst…

1+1=2 dst… 

Mungkin aku akan menjadi kafir jika aku berkata, “betapa jahatnya Tuhan karena telah memberiku kemampuan untuk berpikir,” karena itu yang aku rasakan hari ini. itulah hasil renungananku semalam.

Bagaimana itdak, sekarang aku adalah seorang mahasiswa, orang yang telah menjalani jenjang pendidikan yang tidak sebentar. Tentu saja ada keinginan yang ingin aku capai. Tapi masalahnya, ilmu yang kudapat dari bangku sekolahan sampai saat ini tidak atau mungkin belum banyak membantuku dalam pelajaran yang sebenarnya; kehidupan. 

Sebenarnya untuk apa aku menjadi orang yang berpendidikan? Untuk apa orang menghabiskan waktu dan harta benda yang tidak sedikit jumlahnya demi menjadi orang yang berpendidikan? Apakah benar pelajaran di kelas bisa membantu seseorang di dunia nyata? Aku tidak yakin. 

Di kelas, aku diajari agar bisa menjadi seorang pemimpin. Tapi masalahnya bukan hanya aku yang diajari untuk menjadi pemimpin, tapi ribuan bahkan jutaan orang di luar sana juga demikian. Lalu siapa yang akan menjadi bawahan jika semua orang akan menjadi pemimpin? Baik, mungkin ada sanggahan: setidak-tidak nya dengan pendidikan seorang manusia bisa menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Preeettt… tai,... asu! 

Saya sudah banyak melihat orang yang kehilangan dirinya sendiri di dunia nyata. Kalaupun suatu saat saya benar-benar menjadi seorang pemimpin, sebisa mungkin saya akan membuat orang-orang yang menjadi bawahan saya meng-iya kan apa yang saya katakan. 

Lalu, kalau orang-orang itu benar meng-iyakan, apakah orang-orang itu masih bisa disebut pemimpin atas dirinya sendiri. Kalau ada bantahan lagi misalnya, ada orang yang berani melawan saya sebagai atasan,

 “Daripada saya menuruti apa yang kamu perintahkan, lebih baik saya keluar.” 

Saya tidak akan pusing. Sebab masih banyak pemimpin-pemimpin lain yang mau menjadi bawahan saya. Lalu mau jadi apa orang yang memilih tetap menjadi pemimpin dan menolak aturan boss? Yo matio wae!!! Lalu untuk apa gunanya pendidikan tingi-tingi? Jancok-jancok!!! 

Berpikir lebih dalam, bagaimana dengan orang-orang yang mengharapkan hasil dari proses kita belajar di kelas? Bagaimana dengan orang tua kita berusaha keras menyekolahkan kita? Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang porsi makannya berkurang karena uang yang akan digunakan untuk membeli nasi malah digunakan untuk membayar uang sekolah? 

Kapok, mulakno ojo gelem dadi wong mlarat. 

Lalu aku berpikir: Bagaimanapun aku harus berguna untuk mereka. Bagaimanapun caranya?

Matio Su Asu!!!

Fakta menyakitkan yang aku tau dalam hidupku. Bukan hanya mengenai teori-teori yang disampaikan guru kepada muridnya di kelas. Bukan hal-hal rumit yang aku pelajari dari filsuf dengan pemikiran berbelit tidak karuan. Bukan mengenai ajaran-ajaran indah yang sering disampaikan oleh politikus yang hanya kebanyakan obral dan kekurangan moral. Bukan seperti apa isi buku-buku ilmu pengetahuan yang pernah aku baca selama ini. Semua ini hanya mengenai manusia dan manusia. 

Ya, manusia lah yang sebenarnya menjadi bahan yang selalu tidak habis-habisnya untuk dibuat cerita. Manusia yang tidak pernah berhenti dipelajari oleh manusia itu sendiri. Hanya saja seluruh pikiran yang mengganggu otakku saat ini tidak mengizinkan logika dan pemahamanku bekerja dengan baik, hasilnya adalah pikiran-pikiran dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab. 

Matilah, matilah kalian semua. Matilah kita. Matilah manusia-manusia. Matilah aku, kamu, dia dan mereka semua. Matilah semua pikiran dan persoalan dalam kepalaku. Pergilah, biarkan aku menjadi manusia sedungu-dungunya manusia. Jadikanlah aku manusia yang sebodoh-bodohnya. Ambillah kemampuan berpikirku jika itu satu-satunya cara. Atau kau bisa membunuhku. Diamlah kalian, mulut-mulut tidak berguna. Diamlah semuanya. Pergilah kau tenang, pergilah kau kebisingan, pergilah kau omelan, pergilah kau petuah-petuah dan jangan palingkan wajahmu kepadaku. 

Manusia, apakah aku bisa menjadi Tuhan? Apakah aku kafir jika memilih? Apakah aku salah jika menolak? Apakah aku munafik jika berharap? Apakah aku hina jika menyembah? Apakah aku pantas untuk berpikir? Apakah aku pantas untuk bertindak? Apakah aku berdosa jika salah? Apakah tidak sebaiknya aku diam? Apakah aku berhak untuk diam? Apakah aku harus berbicara? Apakah aku bisa menjadi hewan? Apakah aku bisa menjadi tumbuhan? Apakah aku bisa menjadi obat? Apakah aku ini? Siapa aku ini? Siapa kau itu? Apa kita ini? Bagaimana kau bisa begitu? Bagaimana mungkin aku bisa menjadi seperti ini? apakah kau itu munafik? Apakah kamu yang disebut dewa? Apakah kau lebih baik daripada aku? Apa aku salah jika berkata kotor? Jancok, asu, lonthe, kampang, bajingan!!! 

Marahlah jika kau ingin marah, aku tidak pernah melarangmu marah. Tapi setidaknya, jangan buat aku jadi orang yang suka marah-marah, jangan jadikan aku orang yang pendiam, jangan jadikan aku tunduk, jangan jadikan aku patuh, jangan jadikan aku pembelot, jangan jadikan aku ragu, jangan jadikan aku yakin, jangan jadikan aku apapun yang kau mau. Biarlah aku menjadi aku, karena aku bukan kamu dan kamu bukan aku. Jangan berikan apapun padaku dan jangan ambil apapun dariku. 

Matilah. Matilah. Mati. Hanya mati saja. Su,... Asu...!!!

Selasa, 03 Juni 2014

Cerita Tentang Sekumpulan Mahluk Penjaga Malam

Cerita Tentang Sekumpulan Mahluk Penjaga Malam 

Mungkin untuk sekelas “saya”, belum mampu untuk mengklasifikasikan pada jenis apa mahluk ini. Sekumpulan manusia yang merasa mempunyai kawajuban untuk menjaga malam. Mungkin saja, mungkin lo ya, mereka nggak tau apa yang mereka jaga, apakah mereka takut malam tidak akan gelap lagi? Ataukah mereka tidak percara bahwa malam akan mengerjakan tugasnya sebagai hakikatnya malam? Atau kita tanya langsung pada mereka. Tapi ya silahkan tanya sendiri, kalau saya tidak berani. Saya kan penakut.

 Sebenarnya, Mahluk-mahluk ini tidak lebih dari sekumpulan manusia biasa yang juga butuh makan danmateri, dimata saya. Tapi gimana ya, wong mata saya ini lebih banyak salahnya daripada benernya. Maklum, mata saya kan kecil. Lalu berbicara tentang penjaga malam, jangan berfikir saya akan membahas terlalu dalam dan panjang dengan bahasa yang bagus dan enak untuk dibaca. Ya terserah saya, orang saya yang nulis. 

Saya Cuma mau menulis tentang beberapa orang yang hampir setiap malam tidak pernah tidur, setidaknya itu yang saya lihat selama hampir sepuluh bulan saya berada diantara mereka itu. Lho iya, saya lupa. Saya ini sudah termasuk pada golongan orang-orang ini atau belum? Jadi bingung. Saya jawab sendiri sajalah ya. Mungkin saja sudah, soalnya saya sudah lama bareng sama mereka, tapi mungkin juga belum, soalnya saya belum bisa mengikuti kabiasaan, pola pikir, tingkah laku dan pandangan-pandangan serta cara mereka mengkaji dan menilai suatu kejadian. 

Waduh, kayaknya kok jadi tinggi ya. Ya sudah saya turunkan lagi. Mereka hidup satu atap, hidup bersama dalam ruangan kehidupan. Hidup bersama dalam hampir segala bentuk kehidupan. Tapi saya masih percaya kalau ada suatu pengecualian dalam segala hal. Nek kon gak setuju yo bah-bah no, idup-idup ku nihan, mulut-mulutku nihan, yang nulis jugo aku dewek, nak ngapo kau? 

Iya, saya baru ingat. Ternyata penjaga malam ini bukan Cuma mereka (orang-orang yang sekarang bersama saya), tapi juga ada lagi selain mereka, dengan kesibukan mereka masing-masing tentunya. Sekedar untuk bocoran, mereka ini, orang-orang yang kumaksut dalam tulisan ini adalah mahasiswa. Gelarnya ngeri, “maha-siswa”. Saya sampai merinding karena kedinginan. 

Ayo coba kita tebak, apa yang dilakukan orang-orang seperti mereka tetap menjaga matanya terbuka sampai waktu yang tidak ditentukan oleh hukum negara? Pasti jawabanya ngece. Jangan suka mermehkan, itu tidak baik. Saya jadi ingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Rumah Kaca. Mau tau kata-katanya seperti apa? Ya baca sendirilah. Saya kan sudah kasih tau judul buku dan nama pengarangnya, kurang baik apa saya? 

Kembali ke pokok awal, penjaga malam. Gila!!!. Senbenarnya saya agak ragu untuk memakai kata-kata itu, soalnya terlalu tinggi dan kesannya gimana gitu. Gak sesuai sama isi tulisanya. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur nulis, sayang kalau mau dihapus. 

Jadi intinya, penjaga malam adalah orang-orang yang membiasakan diri untuk terjaga dimalam hari dan berusaha untuk tidak tertidur atau mengurangi jam tidur disiang hari. Lho, kalau saya pikir-pikir, ternyata kalimat saya di paragraf ini lumayan bagus juga ya. Hehehe...heran ya baca tulisan orang yang sok ke-PD-an. Jangan salahkan saya, ini efek radiasi dari segala yang ada di sekitar saya, bahkan mungkin anda adlah salah satu penyebabnya. Radiasi yang menyebabkan orang biasa seperti saya berani menulis dan menjadi orang lebay dalam tulisanya. Radiasi yang bisa menyebabkan saya bertingkah aneh. Aneh yang dimaksutkan saya adalah berbeda denga orang pada umumnya, ya seperti arek-arek penjaga malam tadi. Beneran, mungkin kalian tidak akan percaya sebelum melihat sendiri, lha wong saya yang sudah sering melihat dan meraba serta merasakan saja masih nggak percaya kok. 

Iya, ada satu lagi. Tolong tulisan saya ini jangan dikritik, cukup dipuji saja. Dikritik iku gak enak cok. Loro. Kalau gak percaya ya sini aja, Cocco matana be’na. 

Goblookk-goblokk, malam kok dijaga. Udah gak waras ya?