Minggu, 12 Juli 2015

Pakde Preman Gondrong dan Riuhnya Jakarta

     
      Tadi pagi saya tiba di sebuah daerah yang demi kesejahteraan bersama tidak perlu saya sebutkan, karena sudah ada di judul. Pukul 9 lewat sedikit saya menghubungi guru saya. Kami sudah janjian beberapa hari lalu. Saya membayangkan bentuk fisik orang yang akan saya temui nanti: gemuk, hitam, dan pasti saya akan pangling padanya. Benar saja, setelah saya bertemu dengannya, saya pangling. Tapi ternyata perkiraan saya salah. Ternyata orang yang saya temui lebih kurus badannya, walaupun masih jauh dari proporsionalnya atletis yang ada di tipi-tipi, dan kulitnya sedikit lebih putih. Tapi meskipun begitu, saya tetap lebih ganteng daripada BELIAU –maklum sudah tua. 

       Dulu namanya Pakde Dalbo, tapi sekarang masih tetep, hanya saja saya punya sebutan lain untuk beliau: Pakde Preman Gondrong. Dengan celana pendek yang robek-robek dan baju yang kumal – tidak seperti saya yang selalu rapi – Pakde menjemput saya di Stasiun Pasar Senen. Ternyata, ada satu aksesoris yang tidak pernah Pakde tinggalkan walau kemanapun Pakde pergi, yaitu jam karet yang selalu ada dipergelangan tangan kirinya, dan anda pasti tahu kan maksut saya? 

        Wajahnya seram, berkumis dan berjenggot seperti orang tua, meskipun memang tua. Kalau saja Pakde tidak bersama orang yang rapi seperti saya, pasti orang mengira bahwa Pakde ini adalah preman stasiun yang lagi nyari sasaran untuk makan siang. Tetapi karena saya ini orangnya memiliki aura positif yang bisa mengubah image orang di sekitar saya, maka sudah pasti pandangan orang kepada Pakde ini berubah jauh lebih baik. 

      Siang hari saya lalui dengan membaca buku yang DIPINJAMI Pakde, dan sisa siangnya saya lalui dengan tidur imoet di lantai atas kosan Pakde yang pemandangannya mengalahkan pemandangan dari menara Eiffel. Meski pandangan saya ini subjektif karena saya sendiri belum pernah pergi ke sana. Begitu bangun, sore sudah hadir dan ikut tidur bersama saya dan mbak –panggil saja Bunga – yang sedang mencuci beberapa sandal dan sepatu di tempat kami menghabiskan waktu. 

      Kata Pakde, perempuan itu usianya 18 tahun. Tapi, saya rasa Mbak Bunga itu terlalu banyak makan karbit, sehingga lebih cepat matang dari seharusnya. 

       Pelajaran pertama dari Pakde: ”Di Jakarta ini kalau orang tidak pintar-pintar untuk menertawai hidupnya sendiri, pasti makanannya karbit (tua sebelum waktunya)”. Sangat berbeda dengan saya yang masih sangat muda dan unyu-unyu. Memang benar juga apa kata beliau, pola hidup masyarakat di sini sangat individualis dan oportunis. Tidak lupa ego ke-aku-an membuat mereka sangat ingin menang sendiri. Menurut saya, sifat ini sangat menjenkelkan. Padahal mengapa harus menang sendiri? Kenapa gak menang bareng-bareng? Saya hanya bisa berdoa untuk Pakde Preman, semoga Pakde selalu mendapat perlindungan dari-Nya, dan semoga pakde tidak berubah menjadi Power Ranger atau malah jadi Saras Wati 008 yang sifatnya congkak dan ingin menang sendiri (maklum saya tidak pernah nonton acara tersebut di atas). 

      Sore hari kami lewati dengan mengobrol berdua-an di atap. Mesra sekali kan? Dan tentu saja kami tidak berbuat dosa karena saya orang baik. Kami hanya menggunjing orang-orang yang lalu-lalang di depan kosan Pakde. Ada Pak Satpam yang menurut kami tidak bisa berlari mengejar penjahat. Ada pengamen yang kekurangan modal, ada dua Bajaj BBG yang hobinya menutup jalan. Ada pula wanita berjilbab yang nampaknya menjadi mahluk langka di sini. Tapi yang harus anda catat adalah saya tidak ikut menggunjing dan hanya meng-iya-kan dan menambahi sedikit. Ini adalah bukti kalau saya orang baik? 

      Waktu berbuka yang ditunggu-tunggu anak soleh seperti saya pun tiba. Karena saya baik, tentu saja saya berpuasa, baik lho ya dan beriman serta beramal shaleh. Kami segera turun untuk mencari ta’jil. Seperti biasa, di manapun tempatnya, Pakde selalu menemukan warung kopi. Banyak cerita dan ilmu baru yang saya dapat di sana dan maaf, saya belum bisa membagikan ilmu tersebut karena saya tidak ingin orang lain menjadi malas membaca buku dan hanya membaca tulisan saya saja. Tentu ini niat yang bagus, bukan? 

       Pakde, bagaimanapun bentuk dan fisiknya, ternyata sifat Pakde tidak berubah sama sekali. Hanya saja ada beberapa yang berubah. Saya akan uraikan hal tersebut seperti dalam buku-buku pelajaran yang pernah saya baca. Beberapa hal tersebut adalah: 

1. Agak sedikit sombong dan menganggap saya tidak bisa nyari cewek di Jakarta 
2. Sudah tidak mau membeli rokok eceran, padahal dulu selalu membeli rokok eceran di tembat Mbok. 
3. Tidak mau mengakui kenyataan yang sangat sakral dan nyata bahwa saya jauh lebih ganteng, lebih muda               dan lebih unyu-unyu dibanding beliau. 
4. Dan yang paling penting dari semua itu adalah, Pakde selalu bermimpi hal-hal yang tidak mungkin, yaitu menjadi pacar Nduk Maudi Ayunda, padahal Nduk Maudi itu tunangan saya. 

      Inilah yang membuat hati saya sangat miris sekali. Sebagai manusia yang beriman dan beramal shaleh saya hanya bisa berdo’a agar Pakde mendapat kesadaran dan terbebas dari hal-hal yang saya tuliskan di atas. 

         AL-Fatihah ….

Jumat, 12 September 2014

Komunis

Komunis 

         Kalau di luar sana banyak penulis yang mengabadikan sejarah tentang kekejaman, keslahan, dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang menganut paham komunisme lewat tulisannya, saya pasti setuju dengan mereka. Tapi, kalau sampai di luar sana ada penulis yang mendukung komunisme dalam tulisannya, saya juga setuju. Memang apa pentingnya buat saya? Toh, apapun yang mereka tulis, komunis, perang, pembantaian, kedaulatan, perdamaian atau apapun itu, tidak akan berpengaruh dalam hidup saya –setidaknya itu hasil analisis saya terhadap pemikiran kebanyakan teman-teman saya di kelas. 

            Sebenarnya ada yang mengganjal dalam otak saya. Mungkin mereka benar. Dengan semua yang ada saat ini, baik itu sistem pendidikan, paham ekonomi, dan seluruh rentetan kejadian dalam keseharian saya dan kami, selalu hanya bermuara pada keuntungan pribadi dan tidak pernah jauh dari Ru-pi-ah. Sehingga, mungkin dalam pikiran mereka – teman-teman saya lho, kalu bukan teman saya ya nggak- sudah tidak ada tempat lagi untuk memikirkan hal-hal yang terlalu jauh dan tidak pernah terlihat dalam wujud nyata yang bisa menampar wajah mereka seperti layaknya mantan pacar yang mengajak putus karena mengetahui pasangannya selingkuh. Lho kan...

         Tetapi apakah persepsi itu harus saya benarkan? – harusnya sih iya, lha wong walaupun itu hasil analisis, tapi kan tetap hasil pemikiran saya sendiri. Masak saya menyangkal pikiran saya sendiri? – ”jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” kata Bung Karno. ”setiap kejadian dalam kehidupan pasti saling berhubungan, bahkan kejadian yang sudah samasekali atau hanya hampir terlupakan” nggak tau kata siapa (sak gelemku lah, tulisan yo tulisanku tenan!!!). Selain itu saya masih percaya dengan adanya konsep tanggung jawab. Setiap mahluk hidup yang berfikir pasti memiliki tanggung jawabnya sendiri, baik kepada mahluk lain maupun kepada penciptanya (tapi kalau robot yang di film-film hollywood itu bagaimana ya?). tidak sepantasnya kita sebagai mahluk sosial yang hidup, bernafas, bersenggama dan beranak karena sejarah, merasa tidak memiliki kepentingan dengan perkembangan hal-hal yang kita anggap jauh – menurut saya sih dekat, contohnya di depan kampus saja ada praktik komunisme- dan tidak memiliki wujud nyata yang dapat dilihat sewaktu-waktu sesuka dengkul kalian. Apalagi kalau orang itu memiliki embel-embel “manusia berpendidikan”, 'kan keterlaluan kalau sampai acuh kepada masalah yang seperti itu –kumunisme. 

            Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi hal yang semacam ini? (kita? Loe aja kale, gue nggak. Aku loh cuek cokk...!!!) sebagai mahasiswa –sombong- saya belum bisa menjawab pertanyaan itu, karena Dosen saya belum mengijinkan saya untuk membuat teori sendiri meskipun saya sudah belajar selama bertahun-tahun. Tapi sebagai manusia yang diberi berkah berupa pikiran oleh Tuhan, sebagai bentuk terimakasih saya kepada Tuhan, saya akan berusaha untuk menjawab. 

         Mugkin kita semua sudah tau bagaimana sejarah Negara Indonesia, atau mungkin kalau saya menuliskan G 30 S PKI, anda akan tau apa yang saya maksut, tapi kalau anda masih tidak mudeng, yo matio wae... sejarah Indonesia bukan hanya cerita manis yang bisa membuat orang tertawa apabila dituliskan dalam novel atau karya tulis lain. Alangkah kurang ajar kalau kita sampai lupa atau tidak mau lagi mengenang dan mengingat serta memahami apa yang diperjuangkan oleh orang-orang yang berani kepalanya di potong hanya untuk bisa mengakkan “keadilan”. Kualat kon, mati mlebu neroko jahanam.. 

Madura, 13 September 2014

Ilmu

Ilmu 

      Sore itu, seperti biasa Boneng, Ganden dan Bombom sedang nongkrong di warung kopi di depan universitas. Warung itu memang sudah menjadi tempat bagi untuk berkumpul sambil menggunjing dan memperbincangkan banyak hal. Mereka hanya kelompok pengangguran tamatan SMP.

      ”Ini kan sudah sore, tapi kok masih panas, ya?” ujar boneng memulai. 
       ”Memang kapan ada hari yang nggak panas di Madura ini?” jawab Bombom, sinis. 
      ”Kalian ini ngeributin apa, sih? Mendingan hitung itu sudah berapa gelas kopi yang kalian minum,”sahut Ganden. 
       ”Heh, kalian kapan mau cari kerja? Nggak capek kalian jadi pengangguran terus?” Tanya Bombom. 
      ”Kerja apa Mbom, kita kan cuma lulusan SMP. Mana ada jatah kerjaan buat kita? Kalian lihat itu mahasiswa-mahasiswa baru, mereka pasti berpikir kalau masa depan mereka nanti akan cerah dan mudah untuk dijalani. Tetapi aku bisa pastikan kalau pikiran itu akan hilang beberapa tahun lagi, setidaknya setelah mereka menyadari kalau universitas yang mereka banggakan itu adalah universitas pinggiran yang tidak akan bisa banyak membantu mereka di masa depan,” jawab Ganden. 
       ”Halah lambemu Nden, gembel pengangguran aja sok-sok intelek,” protes kawannya. 
      ”Lho, itu kan kenyataan, coba kalian pikir, tahun ini saja ada lebih dari 3000 mahasiswa baru di universitas ini, belum ditambah tahun-tahun yang lalu. Apalagi kalau di hitung yang ada di universitas lain di negeri ini yang jumlahnya tidak lebih sedikit dari kutu yang ada di rambut kalian. Lha, mereka pasti berharap dengan kuliah, mereka akan mudah menjalani masa depan, heheh preettt. Sekarang ini sudah banyak mahasiswa lulusan perguruan negeri ternama yang menganggur, apalagi cuma mengandalkan ijazah dari universitas seperti ini. Itu kan goblok sekali,” sambung Ganden.
    ”Kamu ini ngomong apa, Nden? Terus kamu berharap para mahasiswa ini mengikuti jejakmu yang suram itu? Kamu berharap penerus negara ini mengikuti langkahmu yang mblangsak ini? Dusomu gedi cokk..!!!’’ bantah Boneng.
     ”Setidaknya aku memiliki kebanggan sebagai seorang pengangguran yang hanya lulus SMP. Setidaknya aku tidak menghabiskan harta orang tuaku lebih banyak lagi untuk mencari ijazah yang sebenarnya tidak berguna,” tambah Ganden.
      ”Itu kan katamu, jaman sekarang ini nyari kerja gak punya ijazah S1 atau S2, ya, susah. Ya seperti raimu ini,” bantah Bombom. 
     ”Kalian pernah dengar baru-baru ini ada berita sarjana lulusan S2 universitas ternama mengajukan permohonan ke MK untuk di suntik mati? Alasanya karena sudah terlalu lama tidak mendapat pekerjaan. Itu hanya satu dari ribuan sarjana yang bernasib sama, hanya yang lain gak ikut minta di suntik mati.”
     ”Tapi setidaknya mereka kan punya niatan baik untuk menuntut ilmu. Itu kan sunah rosul, Nden. Dapet pahala, lo!” Ujar Boneng, sambil menghabiskan sisa kopinya.
       ”Oke, sekarang kita kira-kira saja. Dari 3000 mahasiswa, ada berapa ekor manusia yang memiliki niatan seperti itu? Saya rasa tidak lebih dari satu banding seratus. Sisanya hanya berharap ijasah untuk mendapat pekerjaan yang mapan setelah lulus nanti,”
        ”Lalu seperti apa, sih, yang menurutmu baik itu?” Tanya Boneng penasaran.
     ”Pertama, perbaiki niat sebelum datang ke universitas. Karena niat itu penting, ya, seperti yang kamu bilang tadi, kalau niatnya bener setidaknya mereka dapat pahala dan ditambah dengan ijazah. Yang kedua, jangan cuma bergantung sama pelajaran di kelas. Artinya mereka harus cari wawasan lain selain cuma mengandalkan guru dan dosen. Karena para pengajar itu bukan dewa yang selalu benar. Yang ketiga, sadari kalau diri mereka itu sebenernya bodoh, ehh… bukan bodoh, tapi tolol, makanya jangan tinggi hati hanya karena sudah menjadi mahasiswa. Kalau mereka sudah menyadari kalau mereka bodoh, ya, mereka harus belajar,” tutur Ganden. 

     Boneng tercengang melihat Ganden sedari tadi ngoceh tentang sesuatu yang asing baginya namun terasa masuk akal. Dia membenarkan letak tempat duduknya dan mencoba mencari tau.

      ”Tunggu, tunggu. Aku penasaran denganmu. Kata-katamu masuk akal. Tapi, kau kan hanya lulusan SMP. Dari mana kau tau semua itu?” tanya Boneng dengan wajah ingin tau.
       ”Nah, inilah yang harus kamu ketahui. Tidak perlu harus S1, S2 dan S3 untuk bisa tahu semua ini. Aku pikir ini adalah masanya dimana informasi dan pengetahuan tidak terkotak-kotak dan dimonopoli Universitas. Koran, televisi dan internet bukan hanya milik mahasiswa. Semua orang bisa mendapat wawasan dari mana saja ia suka. Sekali lagi tidak harus di kampus.” Ganden menerukan kata-katanya, ”Setiap orang yang berpendidikan rendah tidak selamanya terpuruk. Kita harus percaya bila Tuhan itu adil pada hambanya. Oya, aku akan memberikan contoh padamu. Di Kulonprogo, Jogja, ada sekumpulan petani yang mendiami lahan pantai yang tanahnya penuh material besi. Mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bercocok tanam di sana. Kalau kita logikakan, seharusnya mereka tidak bisa menanam di lahan pasir karena mereka hanya orang desa dengan pendidikan rendah. Tapi, nyatanya, sampai hari ini mahasiswa pertanian terbaik di ITB masih belum dapat melakukan hal serupa. Ini merupakan satu bukti, bahwasannya pendidikan di Universitas bukan segala-galanya,” kata Ganden.
      ”Lalu apa yang harus kita lakukan agar kita bertahan dalam situasi yang seakan mem- buat kita terpuruk ini? Ya, kau tau sendiri, kan? Kita hanya lulusan SMP?” tanya Bombom. 
    ”Belajar dari alam, manusia, dan Tuhan. Jangan menyempitkan pikiran seolah-olah bangku sekolah adalah satu-satunya sumber ilmu. Kita harus menyadari ada sumber lain yang lebih besar,” jawab Ganden sambil tersenyum. 

     Bombom dan Boneng melongo sambil menggaruk-garuk kepala karena heran teman mereka nerocos tentang sesuatu yang berada di awang-awang. 

        ”Kamu kesurupan ya Nden?” tanya Boneng, masih terheran. 
     ”Ya sudah, kita pikir sambil jalan saja. Nanti kalau kebanyakan mikir, kalian malah jalan-jalan sambil keramas, hahaha... Sudah sore, ayo pulang. Aku belum mencari rumput untuk kambing-kambingku” kata Ganden, sambil tertawa melihat teman-temannya yang kebingungan. 

       Setelah ngoceh tidak karuan, Ganden pergi meninggalkan Bombom dan Boneng yang masih tidak habis pikir dengan kata-kata Ganden yang sangat aneh. 

Madura, 19 Agustus 2014