Jumat, 12 September 2014

Komunis

Komunis 

         Kalau di luar sana banyak penulis yang mengabadikan sejarah tentang kekejaman, keslahan, dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang menganut paham komunisme lewat tulisannya, saya pasti setuju dengan mereka. Tapi, kalau sampai di luar sana ada penulis yang mendukung komunisme dalam tulisannya, saya juga setuju. Memang apa pentingnya buat saya? Toh, apapun yang mereka tulis, komunis, perang, pembantaian, kedaulatan, perdamaian atau apapun itu, tidak akan berpengaruh dalam hidup saya –setidaknya itu hasil analisis saya terhadap pemikiran kebanyakan teman-teman saya di kelas. 

            Sebenarnya ada yang mengganjal dalam otak saya. Mungkin mereka benar. Dengan semua yang ada saat ini, baik itu sistem pendidikan, paham ekonomi, dan seluruh rentetan kejadian dalam keseharian saya dan kami, selalu hanya bermuara pada keuntungan pribadi dan tidak pernah jauh dari Ru-pi-ah. Sehingga, mungkin dalam pikiran mereka – teman-teman saya lho, kalu bukan teman saya ya nggak- sudah tidak ada tempat lagi untuk memikirkan hal-hal yang terlalu jauh dan tidak pernah terlihat dalam wujud nyata yang bisa menampar wajah mereka seperti layaknya mantan pacar yang mengajak putus karena mengetahui pasangannya selingkuh. Lho kan...

         Tetapi apakah persepsi itu harus saya benarkan? – harusnya sih iya, lha wong walaupun itu hasil analisis, tapi kan tetap hasil pemikiran saya sendiri. Masak saya menyangkal pikiran saya sendiri? – ”jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” kata Bung Karno. ”setiap kejadian dalam kehidupan pasti saling berhubungan, bahkan kejadian yang sudah samasekali atau hanya hampir terlupakan” nggak tau kata siapa (sak gelemku lah, tulisan yo tulisanku tenan!!!). Selain itu saya masih percaya dengan adanya konsep tanggung jawab. Setiap mahluk hidup yang berfikir pasti memiliki tanggung jawabnya sendiri, baik kepada mahluk lain maupun kepada penciptanya (tapi kalau robot yang di film-film hollywood itu bagaimana ya?). tidak sepantasnya kita sebagai mahluk sosial yang hidup, bernafas, bersenggama dan beranak karena sejarah, merasa tidak memiliki kepentingan dengan perkembangan hal-hal yang kita anggap jauh – menurut saya sih dekat, contohnya di depan kampus saja ada praktik komunisme- dan tidak memiliki wujud nyata yang dapat dilihat sewaktu-waktu sesuka dengkul kalian. Apalagi kalau orang itu memiliki embel-embel “manusia berpendidikan”, 'kan keterlaluan kalau sampai acuh kepada masalah yang seperti itu –kumunisme. 

            Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi hal yang semacam ini? (kita? Loe aja kale, gue nggak. Aku loh cuek cokk...!!!) sebagai mahasiswa –sombong- saya belum bisa menjawab pertanyaan itu, karena Dosen saya belum mengijinkan saya untuk membuat teori sendiri meskipun saya sudah belajar selama bertahun-tahun. Tapi sebagai manusia yang diberi berkah berupa pikiran oleh Tuhan, sebagai bentuk terimakasih saya kepada Tuhan, saya akan berusaha untuk menjawab. 

         Mugkin kita semua sudah tau bagaimana sejarah Negara Indonesia, atau mungkin kalau saya menuliskan G 30 S PKI, anda akan tau apa yang saya maksut, tapi kalau anda masih tidak mudeng, yo matio wae... sejarah Indonesia bukan hanya cerita manis yang bisa membuat orang tertawa apabila dituliskan dalam novel atau karya tulis lain. Alangkah kurang ajar kalau kita sampai lupa atau tidak mau lagi mengenang dan mengingat serta memahami apa yang diperjuangkan oleh orang-orang yang berani kepalanya di potong hanya untuk bisa mengakkan “keadilan”. Kualat kon, mati mlebu neroko jahanam.. 

Madura, 13 September 2014

Ilmu

Ilmu 

      Sore itu, seperti biasa Boneng, Ganden dan Bombom sedang nongkrong di warung kopi di depan universitas. Warung itu memang sudah menjadi tempat bagi untuk berkumpul sambil menggunjing dan memperbincangkan banyak hal. Mereka hanya kelompok pengangguran tamatan SMP.

      ”Ini kan sudah sore, tapi kok masih panas, ya?” ujar boneng memulai. 
       ”Memang kapan ada hari yang nggak panas di Madura ini?” jawab Bombom, sinis. 
      ”Kalian ini ngeributin apa, sih? Mendingan hitung itu sudah berapa gelas kopi yang kalian minum,”sahut Ganden. 
       ”Heh, kalian kapan mau cari kerja? Nggak capek kalian jadi pengangguran terus?” Tanya Bombom. 
      ”Kerja apa Mbom, kita kan cuma lulusan SMP. Mana ada jatah kerjaan buat kita? Kalian lihat itu mahasiswa-mahasiswa baru, mereka pasti berpikir kalau masa depan mereka nanti akan cerah dan mudah untuk dijalani. Tetapi aku bisa pastikan kalau pikiran itu akan hilang beberapa tahun lagi, setidaknya setelah mereka menyadari kalau universitas yang mereka banggakan itu adalah universitas pinggiran yang tidak akan bisa banyak membantu mereka di masa depan,” jawab Ganden. 
       ”Halah lambemu Nden, gembel pengangguran aja sok-sok intelek,” protes kawannya. 
      ”Lho, itu kan kenyataan, coba kalian pikir, tahun ini saja ada lebih dari 3000 mahasiswa baru di universitas ini, belum ditambah tahun-tahun yang lalu. Apalagi kalau di hitung yang ada di universitas lain di negeri ini yang jumlahnya tidak lebih sedikit dari kutu yang ada di rambut kalian. Lha, mereka pasti berharap dengan kuliah, mereka akan mudah menjalani masa depan, heheh preettt. Sekarang ini sudah banyak mahasiswa lulusan perguruan negeri ternama yang menganggur, apalagi cuma mengandalkan ijazah dari universitas seperti ini. Itu kan goblok sekali,” sambung Ganden.
    ”Kamu ini ngomong apa, Nden? Terus kamu berharap para mahasiswa ini mengikuti jejakmu yang suram itu? Kamu berharap penerus negara ini mengikuti langkahmu yang mblangsak ini? Dusomu gedi cokk..!!!’’ bantah Boneng.
     ”Setidaknya aku memiliki kebanggan sebagai seorang pengangguran yang hanya lulus SMP. Setidaknya aku tidak menghabiskan harta orang tuaku lebih banyak lagi untuk mencari ijazah yang sebenarnya tidak berguna,” tambah Ganden.
      ”Itu kan katamu, jaman sekarang ini nyari kerja gak punya ijazah S1 atau S2, ya, susah. Ya seperti raimu ini,” bantah Bombom. 
     ”Kalian pernah dengar baru-baru ini ada berita sarjana lulusan S2 universitas ternama mengajukan permohonan ke MK untuk di suntik mati? Alasanya karena sudah terlalu lama tidak mendapat pekerjaan. Itu hanya satu dari ribuan sarjana yang bernasib sama, hanya yang lain gak ikut minta di suntik mati.”
     ”Tapi setidaknya mereka kan punya niatan baik untuk menuntut ilmu. Itu kan sunah rosul, Nden. Dapet pahala, lo!” Ujar Boneng, sambil menghabiskan sisa kopinya.
       ”Oke, sekarang kita kira-kira saja. Dari 3000 mahasiswa, ada berapa ekor manusia yang memiliki niatan seperti itu? Saya rasa tidak lebih dari satu banding seratus. Sisanya hanya berharap ijasah untuk mendapat pekerjaan yang mapan setelah lulus nanti,”
        ”Lalu seperti apa, sih, yang menurutmu baik itu?” Tanya Boneng penasaran.
     ”Pertama, perbaiki niat sebelum datang ke universitas. Karena niat itu penting, ya, seperti yang kamu bilang tadi, kalau niatnya bener setidaknya mereka dapat pahala dan ditambah dengan ijazah. Yang kedua, jangan cuma bergantung sama pelajaran di kelas. Artinya mereka harus cari wawasan lain selain cuma mengandalkan guru dan dosen. Karena para pengajar itu bukan dewa yang selalu benar. Yang ketiga, sadari kalau diri mereka itu sebenernya bodoh, ehh… bukan bodoh, tapi tolol, makanya jangan tinggi hati hanya karena sudah menjadi mahasiswa. Kalau mereka sudah menyadari kalau mereka bodoh, ya, mereka harus belajar,” tutur Ganden. 

     Boneng tercengang melihat Ganden sedari tadi ngoceh tentang sesuatu yang asing baginya namun terasa masuk akal. Dia membenarkan letak tempat duduknya dan mencoba mencari tau.

      ”Tunggu, tunggu. Aku penasaran denganmu. Kata-katamu masuk akal. Tapi, kau kan hanya lulusan SMP. Dari mana kau tau semua itu?” tanya Boneng dengan wajah ingin tau.
       ”Nah, inilah yang harus kamu ketahui. Tidak perlu harus S1, S2 dan S3 untuk bisa tahu semua ini. Aku pikir ini adalah masanya dimana informasi dan pengetahuan tidak terkotak-kotak dan dimonopoli Universitas. Koran, televisi dan internet bukan hanya milik mahasiswa. Semua orang bisa mendapat wawasan dari mana saja ia suka. Sekali lagi tidak harus di kampus.” Ganden menerukan kata-katanya, ”Setiap orang yang berpendidikan rendah tidak selamanya terpuruk. Kita harus percaya bila Tuhan itu adil pada hambanya. Oya, aku akan memberikan contoh padamu. Di Kulonprogo, Jogja, ada sekumpulan petani yang mendiami lahan pantai yang tanahnya penuh material besi. Mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bercocok tanam di sana. Kalau kita logikakan, seharusnya mereka tidak bisa menanam di lahan pasir karena mereka hanya orang desa dengan pendidikan rendah. Tapi, nyatanya, sampai hari ini mahasiswa pertanian terbaik di ITB masih belum dapat melakukan hal serupa. Ini merupakan satu bukti, bahwasannya pendidikan di Universitas bukan segala-galanya,” kata Ganden.
      ”Lalu apa yang harus kita lakukan agar kita bertahan dalam situasi yang seakan mem- buat kita terpuruk ini? Ya, kau tau sendiri, kan? Kita hanya lulusan SMP?” tanya Bombom. 
    ”Belajar dari alam, manusia, dan Tuhan. Jangan menyempitkan pikiran seolah-olah bangku sekolah adalah satu-satunya sumber ilmu. Kita harus menyadari ada sumber lain yang lebih besar,” jawab Ganden sambil tersenyum. 

     Bombom dan Boneng melongo sambil menggaruk-garuk kepala karena heran teman mereka nerocos tentang sesuatu yang berada di awang-awang. 

        ”Kamu kesurupan ya Nden?” tanya Boneng, masih terheran. 
     ”Ya sudah, kita pikir sambil jalan saja. Nanti kalau kebanyakan mikir, kalian malah jalan-jalan sambil keramas, hahaha... Sudah sore, ayo pulang. Aku belum mencari rumput untuk kambing-kambingku” kata Ganden, sambil tertawa melihat teman-temannya yang kebingungan. 

       Setelah ngoceh tidak karuan, Ganden pergi meninggalkan Bombom dan Boneng yang masih tidak habis pikir dengan kata-kata Ganden yang sangat aneh. 

Madura, 19 Agustus 2014

Selasa, 10 Juni 2014

Tulisan Hina, Cokkkk Bangga!!!

Tulisan Hina, Cokkkk Bangga!!!

Saya baru sadar malam ini; bahwa sebenarnya saya ini masih belum bisa menulis. Dilihat dari segi manapun, tetap saja tulisan saya jelek. Sebenarnya saya heran, kenapa saya masih juga belum bisa menulis dengan baik sampai umur saya yang setua ini? Tapi ada yang lebih aneh lagi. Tadi siang ada orang yang meminta saya untuk mengajarinya menulis—ya,... saya merasa ok gitu dalam hati. Terus saya berpikir, sebenarnya orang ini mau ngajak berantem atau bagaimana? Lha wong tulisan saya masih nggak karuan, nggak kelihatan ujung pangkalnya—merendah—kok saya disuruh ngajarin nulis.

Hal itu juga yang membuat saya sadar dengan hal yang juga cukup penting: bahwa minat orang-orang untuk membaca tulisan saya adalah nol. Ya, saya sadar karena memang tulisan saya jelek. Eh, bukan jelek, cuma tidak bagus sama sekali.

Sebenarnya sedih menghina tulisan sendiri, tapi ini saya lakukan supaya saya bisa menyadarkan diri saya sendiri. Ya, saya kan ndak mau jadi orang yang pengku. Saya masih mau lebih banyak belajar lagi, supaya saya masih tetap menjadi orang yang bodoh, orang yang kosong, tidak frustasi karena belajar nulis sudah lama, tapi masih belum bisa. Duh jan, loro cokk...!!! 

Saya berpikir lagi. Kira-kira kapan saya bisa menyamai penulis-penulis yang saya kagumi, seperti penulis pemula idola saya: Uppps... nggak jadi, ah... Tapi memang sih, belum banyak penulis hebat yang saya kenal. Iya juga ya, kira-kira kapan saya bisa menyamai Pramoedya Ananta Toer atau yang sekarang ini ya Emha Ainun Nadjib atau yang lebih dekat lagi seperti Pakde Dalbo misalnya. Aduh, saya kok seperti mimpi saja, ya... Apa saya sudah hampir gila? Waduh gawat ini, jangan sampai saya masuk rumah sakit jiwa. Saya nggak mau lah, kan malu sama CALEG yang gagal, masak tempat mereka saya rebut. Itu kan HINA.

Kadang-kadang saya berandai-andai, saya pengen nyoba deketin orang-orang hebat yang pinter nulis, terus saya belah kepalanya. Habis itu, saya lihat sebenarnya otaknya itu terbuat dari apa? Jadi kalau bisa otak saya mau saya bentuk seperti itu. COOKKK BAR BAR IKU JENENGE...!!!. ora open. Daripada saya penasaran terus mati jadi hantu, gimana hayo? Hantu kan masuk neraka, saya nggak maulah masuk neraka.

Hehehe nggak lah saya cuma bercanda kok, masa iya saya tega belah kepala manusia, belah kepala burung saja saya gak berani. Saya kan takut darah, hiii....

Laju makmano mun cak ini? (Terus gimana kalo kayak gini?)

Tapi ya sudahlah, nggak apa-apa. Biarpun tulisan saya jelek, masih ada kebanggaan dalam tulisan saya.

Coookkk, wes elek bangga!!!

Lho, walaupun jelek-jelek gini, aslinya emang nggak bagus lho. Jangan salah.

Dan sekaligus saya tau, bahwa sebenarnya saya sama sekali tidak gila. Ya sudah, saya mau minum obat dulu. Obat penenang, buat ngurangi gejala gangguan jiwa. Ternyata Madura dingin ya.

1+1=2 dst…

1+1=2 dst… 

Mungkin aku akan menjadi kafir jika aku berkata, “betapa jahatnya Tuhan karena telah memberiku kemampuan untuk berpikir,” karena itu yang aku rasakan hari ini. itulah hasil renungananku semalam.

Bagaimana itdak, sekarang aku adalah seorang mahasiswa, orang yang telah menjalani jenjang pendidikan yang tidak sebentar. Tentu saja ada keinginan yang ingin aku capai. Tapi masalahnya, ilmu yang kudapat dari bangku sekolahan sampai saat ini tidak atau mungkin belum banyak membantuku dalam pelajaran yang sebenarnya; kehidupan. 

Sebenarnya untuk apa aku menjadi orang yang berpendidikan? Untuk apa orang menghabiskan waktu dan harta benda yang tidak sedikit jumlahnya demi menjadi orang yang berpendidikan? Apakah benar pelajaran di kelas bisa membantu seseorang di dunia nyata? Aku tidak yakin. 

Di kelas, aku diajari agar bisa menjadi seorang pemimpin. Tapi masalahnya bukan hanya aku yang diajari untuk menjadi pemimpin, tapi ribuan bahkan jutaan orang di luar sana juga demikian. Lalu siapa yang akan menjadi bawahan jika semua orang akan menjadi pemimpin? Baik, mungkin ada sanggahan: setidak-tidak nya dengan pendidikan seorang manusia bisa menjadi pemimpin atas dirinya sendiri. Preeettt… tai,... asu! 

Saya sudah banyak melihat orang yang kehilangan dirinya sendiri di dunia nyata. Kalaupun suatu saat saya benar-benar menjadi seorang pemimpin, sebisa mungkin saya akan membuat orang-orang yang menjadi bawahan saya meng-iya kan apa yang saya katakan. 

Lalu, kalau orang-orang itu benar meng-iyakan, apakah orang-orang itu masih bisa disebut pemimpin atas dirinya sendiri. Kalau ada bantahan lagi misalnya, ada orang yang berani melawan saya sebagai atasan,

 “Daripada saya menuruti apa yang kamu perintahkan, lebih baik saya keluar.” 

Saya tidak akan pusing. Sebab masih banyak pemimpin-pemimpin lain yang mau menjadi bawahan saya. Lalu mau jadi apa orang yang memilih tetap menjadi pemimpin dan menolak aturan boss? Yo matio wae!!! Lalu untuk apa gunanya pendidikan tingi-tingi? Jancok-jancok!!! 

Berpikir lebih dalam, bagaimana dengan orang-orang yang mengharapkan hasil dari proses kita belajar di kelas? Bagaimana dengan orang tua kita berusaha keras menyekolahkan kita? Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang porsi makannya berkurang karena uang yang akan digunakan untuk membeli nasi malah digunakan untuk membayar uang sekolah? 

Kapok, mulakno ojo gelem dadi wong mlarat. 

Lalu aku berpikir: Bagaimanapun aku harus berguna untuk mereka. Bagaimanapun caranya?

Matio Su Asu!!!

Fakta menyakitkan yang aku tau dalam hidupku. Bukan hanya mengenai teori-teori yang disampaikan guru kepada muridnya di kelas. Bukan hal-hal rumit yang aku pelajari dari filsuf dengan pemikiran berbelit tidak karuan. Bukan mengenai ajaran-ajaran indah yang sering disampaikan oleh politikus yang hanya kebanyakan obral dan kekurangan moral. Bukan seperti apa isi buku-buku ilmu pengetahuan yang pernah aku baca selama ini. Semua ini hanya mengenai manusia dan manusia. 

Ya, manusia lah yang sebenarnya menjadi bahan yang selalu tidak habis-habisnya untuk dibuat cerita. Manusia yang tidak pernah berhenti dipelajari oleh manusia itu sendiri. Hanya saja seluruh pikiran yang mengganggu otakku saat ini tidak mengizinkan logika dan pemahamanku bekerja dengan baik, hasilnya adalah pikiran-pikiran dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab. 

Matilah, matilah kalian semua. Matilah kita. Matilah manusia-manusia. Matilah aku, kamu, dia dan mereka semua. Matilah semua pikiran dan persoalan dalam kepalaku. Pergilah, biarkan aku menjadi manusia sedungu-dungunya manusia. Jadikanlah aku manusia yang sebodoh-bodohnya. Ambillah kemampuan berpikirku jika itu satu-satunya cara. Atau kau bisa membunuhku. Diamlah kalian, mulut-mulut tidak berguna. Diamlah semuanya. Pergilah kau tenang, pergilah kau kebisingan, pergilah kau omelan, pergilah kau petuah-petuah dan jangan palingkan wajahmu kepadaku. 

Manusia, apakah aku bisa menjadi Tuhan? Apakah aku kafir jika memilih? Apakah aku salah jika menolak? Apakah aku munafik jika berharap? Apakah aku hina jika menyembah? Apakah aku pantas untuk berpikir? Apakah aku pantas untuk bertindak? Apakah aku berdosa jika salah? Apakah tidak sebaiknya aku diam? Apakah aku berhak untuk diam? Apakah aku harus berbicara? Apakah aku bisa menjadi hewan? Apakah aku bisa menjadi tumbuhan? Apakah aku bisa menjadi obat? Apakah aku ini? Siapa aku ini? Siapa kau itu? Apa kita ini? Bagaimana kau bisa begitu? Bagaimana mungkin aku bisa menjadi seperti ini? apakah kau itu munafik? Apakah kamu yang disebut dewa? Apakah kau lebih baik daripada aku? Apa aku salah jika berkata kotor? Jancok, asu, lonthe, kampang, bajingan!!! 

Marahlah jika kau ingin marah, aku tidak pernah melarangmu marah. Tapi setidaknya, jangan buat aku jadi orang yang suka marah-marah, jangan jadikan aku orang yang pendiam, jangan jadikan aku tunduk, jangan jadikan aku patuh, jangan jadikan aku pembelot, jangan jadikan aku ragu, jangan jadikan aku yakin, jangan jadikan aku apapun yang kau mau. Biarlah aku menjadi aku, karena aku bukan kamu dan kamu bukan aku. Jangan berikan apapun padaku dan jangan ambil apapun dariku. 

Matilah. Matilah. Mati. Hanya mati saja. Su,... Asu...!!!

Selasa, 03 Juni 2014

Cerita Tentang Sekumpulan Mahluk Penjaga Malam

Cerita Tentang Sekumpulan Mahluk Penjaga Malam 

Mungkin untuk sekelas “saya”, belum mampu untuk mengklasifikasikan pada jenis apa mahluk ini. Sekumpulan manusia yang merasa mempunyai kawajuban untuk menjaga malam. Mungkin saja, mungkin lo ya, mereka nggak tau apa yang mereka jaga, apakah mereka takut malam tidak akan gelap lagi? Ataukah mereka tidak percara bahwa malam akan mengerjakan tugasnya sebagai hakikatnya malam? Atau kita tanya langsung pada mereka. Tapi ya silahkan tanya sendiri, kalau saya tidak berani. Saya kan penakut.

 Sebenarnya, Mahluk-mahluk ini tidak lebih dari sekumpulan manusia biasa yang juga butuh makan danmateri, dimata saya. Tapi gimana ya, wong mata saya ini lebih banyak salahnya daripada benernya. Maklum, mata saya kan kecil. Lalu berbicara tentang penjaga malam, jangan berfikir saya akan membahas terlalu dalam dan panjang dengan bahasa yang bagus dan enak untuk dibaca. Ya terserah saya, orang saya yang nulis. 

Saya Cuma mau menulis tentang beberapa orang yang hampir setiap malam tidak pernah tidur, setidaknya itu yang saya lihat selama hampir sepuluh bulan saya berada diantara mereka itu. Lho iya, saya lupa. Saya ini sudah termasuk pada golongan orang-orang ini atau belum? Jadi bingung. Saya jawab sendiri sajalah ya. Mungkin saja sudah, soalnya saya sudah lama bareng sama mereka, tapi mungkin juga belum, soalnya saya belum bisa mengikuti kabiasaan, pola pikir, tingkah laku dan pandangan-pandangan serta cara mereka mengkaji dan menilai suatu kejadian. 

Waduh, kayaknya kok jadi tinggi ya. Ya sudah saya turunkan lagi. Mereka hidup satu atap, hidup bersama dalam ruangan kehidupan. Hidup bersama dalam hampir segala bentuk kehidupan. Tapi saya masih percaya kalau ada suatu pengecualian dalam segala hal. Nek kon gak setuju yo bah-bah no, idup-idup ku nihan, mulut-mulutku nihan, yang nulis jugo aku dewek, nak ngapo kau? 

Iya, saya baru ingat. Ternyata penjaga malam ini bukan Cuma mereka (orang-orang yang sekarang bersama saya), tapi juga ada lagi selain mereka, dengan kesibukan mereka masing-masing tentunya. Sekedar untuk bocoran, mereka ini, orang-orang yang kumaksut dalam tulisan ini adalah mahasiswa. Gelarnya ngeri, “maha-siswa”. Saya sampai merinding karena kedinginan. 

Ayo coba kita tebak, apa yang dilakukan orang-orang seperti mereka tetap menjaga matanya terbuka sampai waktu yang tidak ditentukan oleh hukum negara? Pasti jawabanya ngece. Jangan suka mermehkan, itu tidak baik. Saya jadi ingat kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Rumah Kaca. Mau tau kata-katanya seperti apa? Ya baca sendirilah. Saya kan sudah kasih tau judul buku dan nama pengarangnya, kurang baik apa saya? 

Kembali ke pokok awal, penjaga malam. Gila!!!. Senbenarnya saya agak ragu untuk memakai kata-kata itu, soalnya terlalu tinggi dan kesannya gimana gitu. Gak sesuai sama isi tulisanya. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur nulis, sayang kalau mau dihapus. 

Jadi intinya, penjaga malam adalah orang-orang yang membiasakan diri untuk terjaga dimalam hari dan berusaha untuk tidak tertidur atau mengurangi jam tidur disiang hari. Lho, kalau saya pikir-pikir, ternyata kalimat saya di paragraf ini lumayan bagus juga ya. Hehehe...heran ya baca tulisan orang yang sok ke-PD-an. Jangan salahkan saya, ini efek radiasi dari segala yang ada di sekitar saya, bahkan mungkin anda adlah salah satu penyebabnya. Radiasi yang menyebabkan orang biasa seperti saya berani menulis dan menjadi orang lebay dalam tulisanya. Radiasi yang bisa menyebabkan saya bertingkah aneh. Aneh yang dimaksutkan saya adalah berbeda denga orang pada umumnya, ya seperti arek-arek penjaga malam tadi. Beneran, mungkin kalian tidak akan percaya sebelum melihat sendiri, lha wong saya yang sudah sering melihat dan meraba serta merasakan saja masih nggak percaya kok. 

Iya, ada satu lagi. Tolong tulisan saya ini jangan dikritik, cukup dipuji saja. Dikritik iku gak enak cok. Loro. Kalau gak percaya ya sini aja, Cocco matana be’na. 

Goblookk-goblokk, malam kok dijaga. Udah gak waras ya?

Jumat, 30 Mei 2014

Gara-Gara Pakde Dalbo.

Gara-Gara Pakde Dalbo.

Itu adalah kata-kata dari pakde Dalbo, namanya saja Dalbo, pasti ngomongnya ngawur, gak bener. Kalau tidak percaya biar aku ceritakan sedikit, biar gak cuma aku yang jadi bingung.

Pagi tadi, aku dibangunin sama teman-temanku, biasalah, saya kan orang penting, jadi ya wajar kalau bangun saja harus dibangunin. Ternyata pagi itu ada meteri dari Pakde, padahal nyawaku belum ngumpul 100%, mataku lho masih 5 Watt. Ow iya, aku lupa, mataku memang sipit, walaupun cuma sebelah. Kita orang penting, jadi belajarnya juga tingi-tingi, tidak salah-salah, kami belajar filsafat beeehhhhh…keren gak tu….???

Tapi bukan pelajarannya yang mau aku ceritakan, tapi kata-kata Pakde yang gak penting. Padahal Pakde itu guruku lho. Nanti jangan cerita sama Pakde kalau aku nulis ini ya, hehe aku kan ngeri.

Pakde itu suka godain cewek, terutama cewek yang tergolong tidak cantik saya tidak berani bilang JELEK, takut diprotes sama MUI. Waktu ditanya kenapa suka godain cewek tidak cantik, pakde jawab seperti ini:

“Coba kamu pikir dengan dangkal, kalau cewek yang cantik digodain, pasti gak ada efeknya, soalnya udah banyak yang godain, tapi kalau cewek yang gak cantik kan jarang yang goda, kan kasian,” kata Pakde.

Trus saya Tanya, “berarti PHP dong Pakde?”

“Ya gak lah, saya menggoda mereka kan niat saya baik, semua hal itukan tergantung niatnya, kalau niatnya baik kan bisa dapat pahala dari Gusti Pangeran.”

“Terus niat Pakde apa?”

“Percaya gak percaya, diakui atau tidak kalau orang digodain pasti ngerasa cantik/ganteng. Kalau mereka jelek terus gak ada yang godain berarti mereka gak laku, sedih nggak mereka? Lama-lama kan bisa frustasi, kalau sudah frustasi bisa-bisa bunuh diri. Nah, maka dari itu saya menggoda orang yang jelek, eh salah, maksud saya tidak cantik supaya mereka gak frustasi trus bunuh diri. Saya baik kan?”

“Iya, pakde joss, semoga amal baik Pakde diterima di sisi-NYA amiinnn.”

Pakde marah, “ MATTAMU COOKK….!!!!”

Ceramah Sebatang Rokok.

Ceramah Sebatang Rokok.

 Sekarang masyarakat golongan mana yang belum membicarakan masalah rokok? Sepertinya sudah semua, tidak terkecuali temanku satu kelas. Hari ini temanya rokok, full. Ada yang pro, kontra, ada yang di tengah (plin-plan), ada yang gak ikut campur dan ada yang jadi orang bijaknya. Ada yang bilang merokok itu tidak baik dilarang, buruk, mengurangi umur yang merokok dan yang dekat orang merokok, ada yang bilang makruh atau haram (saya lupa), tapi ada juga yang bilang merokok itu baik, alasannya juga bermacam macam. Ada yang bilang biar keren, bahkan sampai ada yang bilang seperti ini ,”lanang gak ngerokok yo uduk lanang” saya jadi ingat, pernah ada orang yang bilang begini sama saya “ gak ngerokok + gak ngopi = nginang” namanya Eyang Abiyoso, salah satu guru saya.

Mereka terus saja ngoceh panjang lebar sambil adu statemen untuk membenarkan pendapat mereka masing-masing. Niatnya saya, saya nggak mau ikut pada pembicaraan mereka, karena menurut saya, pembicaraan itu tidak penting, gak mutu. Gimana mau dibilang bermutu, coba pikir, mau hasilnya seperti apapun, siapapun yang bisa keluar sebagai pemenang, hasilnya tetep sama saja, yang merokok tetap merokok, yang anti rokok ya tetep anti rokok, ya walaupun kadang-kadang juga bisa ikut-ikutan merokok.

Tapi apa yang terjadi, akhirnya niat hanya menjadi sebatas niat, tibo-tibo aku di tekok’I, hehe tiba-tiba aku ditanya, kan aku kaget, lawong niatnya aku nggak mau ikut campur, aku kan orangnya cuek. Tapi apa boleh buat, pertanyaan sudah terlamjur melayang dan memasuki alam pikiran saya, cie cie, sok jadi penyair. Begini pertanyaanya:

“Kalau kamu kenapa merokok, Ji?”

Ya saya jawab, “Saya pengen bantu para petani, buruh, sopir truk, pedagang, orang kaya, pelajar dan Negara sekaligus.”

“Kok bisa?”

“Kamu tau proses pembuatan rokok? Awalnya dari kebun, petani nanam tembakau di ladang, saat menanam petani butuh pupuk dari toko, yang punya toko siapa? Pedagang, terus panen, kemana tembakau dibawa? Perusahaan, Djarum salah satunya, pakek apa bawanya? Pakai truk, siapa yang ngolah tembakau itu kok bisa jadi rokok? Buruh, pekerja. Dibayar gak buruh itu? siapa yang bayar? Yang punya perusahaan siapa yang punya perusahaan? Orang kaya. Dapet duit gak orang kaya?, buruh dapet duit gak? Petani dapet duit gak? Pedagang dapet duit gak, mereka semua seneng gak?

Sek masih ada lagi, kalau sudah jadi rokok pasti di distribusikan, kemana? Pakek apa? Ke toko, ke warung, pakek mobil, mungkin juga kereta atau mungkin juga odong-odong, tapi kayaknya gak mungkin. Terus udah nyampek warung saya beli rokoknya. Siapa yang senang? yang punya warung kan? Terus kalau rentetan kejadian itu berjalan lancar, siapa yang seneng lagi? Mahasiswa, kenapa kok mahasiswa? Pernah denger beasiswa Djarum? Itu salah satunya, walaupun ada orang yang dapat beasiswa rokok tapi dia bilang rokok itu haram. Ya saya tau, soalnya di kampus kita ini ada, saya kenal baik sama orangnya. Terus siapa lagi yang seneng, ?? Negara, pegawai DPR, pegawai pajak, kok bisa gitu? Ada berapa pabrik rokok di Indonesia? Kira-kira berapa pajak yang mereka bayar sama pemerintah setiap tahun? Jadi kan bisa di korupsi bareng-bareng.

Jadi, siapa yang senang? Semua senang. Coba bayangkan kalau gak ada orang yang beli rokok, rokok gak laku, gimana nasib petani tembakau, gimana nasib orang Madura? Gimana nasip ribuan buruh di pabrik rokok? Gimana nasib sopir-sopir truk yang biasanya ngangkut rokok dan tembakau? Gimana nasib warung-warung, toko yang jualan rokok? Gimana nasib mahasiswa ? dan gimana nasib Negara kita ini? ayo jawab, jangan diem tok.

Kalau dihitung-hitung ya, yang rugi itu ya saya sama orang tua saya, kenapa? saya beli rokok pakek uang pribadi saya yang saya dapat dari orang tua saya sendiri sampai uang biaya hidup saya habis, terus kamu bilang tadi rokok tidak baik untuk kesehatan, kesehatan siapa? Saya sendiri kan, yang merokok kan.

Kalau memang benar perokok pasif lebih banyak mendapat penyakit dibanding perokok aktif, kenapa gak semua orang jadi perokok aktif, terus bandingkan sendiri bagaimana rasanya. Balik lagi siapa yang rugi? Saya, yang beli rokok, yang merokok. Tapi apa salahnya sakit, sengsara, menderita, sakit kalau ada niat yang baik, kalau imbasnya lebih besar daripada sakitnya. Saya ini orang miskin, kalau mau sedekah ya uang saya kurang, makanya saya sedekah dengan cara lain, ya dengan rokok tadi. Apa tidak boleh orang miskin seperti saya berbuat sesuatu untuk orang banyak? Ayo jawab, kenapa diam semua?”

“Penjalasanmu mbulet cok..!!! koyok entutku. Orang ditanya malah ceramah, kalau mau ceramah di masjid sana.”

“Raimu..!!!”

Jilbab oh jilbab

Jilbab oh jilbab

Hari ini saya ingin menjadi orang yang sok kritis, sok tau, sok alim dan saya ingin mengajak Anda semua untuk berfikir, flashback, meraba dan membayangkan hal-hal lain yang kira-kira perlu untuk dilakukan seputar tulisan ini nanti.`

 Sekarang ini nilai-nilai yang berlaku sudah tidak jelas, terbalik, tertukar bahkan terabaikan, termasuk juga nilai-nilai agama. Sebagai contoh, yang paling simpel, yang hampir setiap hari saya temui, permasalahan jilbab. Setahu saya, jilbab itu dipakai untuk menutupi aurat bagi seorang muslimah, ya muslimah. Itu dulu, tapi sekarang jilbab tidak lebih dari sekedar fashion, bahkan yang lebih parah, saya pernah bertanya kepada seorang wanita yang selalu memakai jilbab saat di kampus.

Apa alasan dia memakai jilbab? Dan jawabannya membuat saya, orang se-brengsek saya tertegun, kaget, walaupun saya coba tutupi. Dia menjawab, “Hanya untuk penutup kalau saya keluar kan panas kalau gak mekek jilbab, kadang-kadang kan juga dingin, jadi jilbab sangat berguna.”

Dalam pikiran saya berkata “berguna dengkulmu melocot..?!” saya lanjutkan bertanya, “kenapa kamu gak makek topi atau payung saja?”

 “kalau topi gak biasa, kalau payung susah bawanya, jadi ya tetep jilbab pilihan terbaik, lagi pula saya dimarahi sama orang tua saya kalau gak makek jilbab.”

 “jadi kalau gak dimarahi, kamu gak makek jilbab?”

 “ mungkin nggak, tapi mungkin juga iya”

Saya ini orang brengsek, munafik, bajingan, tapi saya masih merasa prihatin dengan hal yang semacam ini. bagaimana seorang dengan gampangnya membelokkan sesuatu yang menurut saya masih sakral, membalik nilai-nilai agama. Yang lebih membuat miris lagi, kata-kata itu keluar dari mulut seorang wanita yang pernah menimba ilmu di pondok pesantren selama tiga tahun lamanya, ditambah lagi dia hidup di lingkungan orang Madura yang terkenal dengan ketaatanya terhadap agama. Mun cak ini kejadianyo, cak mano laju?

Memang iya, setiap orang berhak memilih jalan hidupnya masing-masing, tapi kalau sudah seeperti ini saya rasa sah apabila saya megkritik. Karena ini sudah bukan hanya urusan pribadi, tapi nilai-nilai agama. Lalu yang salah siapa? Pelakunya? Pendidikanya? Orang tuanya? Lingkunganya? atau kita akan tetap menyalahkan setan?

Oke saya mengalah, yang salah adalah saya. Saya salah Karena telah mencapuri sesuatu yang jauh dari jangkauan saya. Iya ya, memangnya saya siapa? Ustad bukan, santri juga bukan, terus kenapa saya mikirin masalah kayak gini, cuma bikin pusing. Enak ngopi karo ngrokok neng warung wesss….

Ya sudah, lupakan saja semua isi tulisan saya diatas tadi, ,anggap saja cuma tulisan orang gila.

Senin, 07 April 2014

Malas

kebosanan ini semakin melebar dan meluas di otakku, sampa-sampai aku tak lagi bisa mendengar orang yang berbicara di depanku. ada yang bilang padaku bahwa aku berubah, aku tau aku berubah. mereka bilang aku yang sekarang menjadi harimau pink karena lebih banyak diam dan tidur dalam kehidupan keseharianku. yang jelas aku sekarang bukan diriku yang dulu. kata mereka.

setelah pagi tadi aku kembali meninggalkan praktikum ku karena ketiduran, sekarangpun aku kembali meninggalkan pelajaran karena pelajaran itu terasa menolak untuk kumasukkan ke dalam telingaku. akhirnya aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang dan membiarkan semuanya berlalu tanpa melawan. karena perlawananku sudah tidak berguna lagi. dimentahkan oleh logikaku sendiri.

maaf aku mengecewakanmu.

Sabtu, 15 Maret 2014

Orang-Orang Terasing.

Malam yang asing ini seakan mengamini perasaan rinduku padamu. Semakin lama kurasa semakin asing aku di tanah garam ini. Mengapa tanah ini terasa asing meskipun ia sangat ramah padaku. Apakah aku salah jika merindukan mereka? Disini seakan matahari berbeda dari matahari yang biasa aku lihat dan aku ajak bercanda setiap hari ketika aku senang, aku ajak menangis saat aku bersedih, dan matahari yang tak pernah mau aku ajak turun ke bumi untuk duduk menemani ku. 

Sekarang pun ini bukan masalah, karena sebenarnya aku selalu merasa tidak pernah ada di tempatku yang seharusnya. Entah mengapa, bahkan langit yang menyertai hidupku terasa asing bagiku. Terkadang aku berfikir, apakah ini karena aku yang mengasingkan diri dari kenyataan yang di buat langit dan bumi, atau karena memang langit dan bumi menganggapku sebagai orang asing yang tidak pantas untuk dikenang dan dikenal. 

Suara yang meronta dari rongga dadaku semakin terasa, seakan ingin keluar untuk menyampaikan sendiri pendapatnya kepada bulan malam ini yang sedang malu bersembunyi di balik awan. Sementara aku hanya bisa menahan sambil terus berusaha untuk menjadi hakim atas segala sesuatu yang bertentangan di dalam pertempuran antara logika dan kenyataan. 

Setidaknya hidupku masih menghadap pada sasaran, meskipun aku sendiri tidak yakin apakah sasaran itu dan apakah langit dan bumi merestui aku. Terserahlah, toh atap tempat tidurku bukan hanya kali ini berganti. Jadi biarlah sungai tetap mengalir seperti seharusnya, dan biarlah angin mengerjakan tugasnya.

Manusia Goa dan Gema Berkepanjangan

Apa yang dapat membangunkan manusia dari kebohongan? 

Bahkan mungkin hingga langit runtuh pun, manusia masih tetap bermain dengan kebohongan. Lalu siapa yang bisa dipersalahkan? Aku rasa ini bukan saat yang tepat untuk selalu menyalahkan. Mungkin berkaca pada cermin kecil akan lebih baik ketimbang melihat bayangan tubuh yang berbaring di tanah ditimpa bermacam bunga. Tapi, bahkan cerminpun telah kehilangan sifat jujurnya. 

Jadi apakah batu yang diam dapat memberikan kejujuran? 

Sungguh mengenaskan nasib tubuh ini, laksana menghendaki suara tapi gema yang terdengar. Sumbang dan jauh dari kenyataan. Walaupun ada yang bilang bahwa kebenaran yang sebenarnya adalah kebohongan yang di-amin-i, setidaknya para manusia goa itu belum terbukti bersalah pada ucapan.

Peraturan.

Setiap hari setelah menuliskan apapun disini, aku berharap catatan ini bisa memberi balasan atau jawaban atau sangkalan atau apapun , setidaknya dia tidak hanya selalu terdiam dan tak acuh terhadap semua harapanku. Sudah teralalu banyak benda yang diam di sakalilingku. Bahkan hari ini aku pun harus lebih banyak berdiam menahan semua rasa ku, hanya karena rasaku ini terbentur dengan kerasnya dinding peraturan. Ya, lagi-lagi peraturan yang menjengelkan, dia seperti tak pernah puas selalu menghalangi langkahku hingga membuat aku malas untuk meneruskan langkah. 

Itu pernah terjadi, tapi akhirnya “si hitam” berhasil menyadarkanku. Dengan sifat tak acuhnya yang seperti biasa, tetapi bersimpati lebih daripada sang pencerah yang setiap hari berdiri di depanku untuk menjadi pohon yang tidak pernah bisa ku rangkul dan peluk. Bisu tapi terus bertutur, buta tapi melihat kesalahanku, tuli tapi mendengar keburukanku. Semoga semua ini cepat berlalu bersama semua tugas yang selesai tidak tepat waktu.

Fikiran dan Kenistaan.

Berfikir lagi tentang kekafiran-kekafiran yang sudah dan akan ku lakukan. 

Beranjak dari satu dahan kenistaan menuju pada pahitnya buah kegelapan hati, yang selalu terselimuti oleh lemahnya kepercayaan yang dapat dengan mudahnya hilang di telan angin malam yang berhembus bersama bayang-bayang hitam kasih sayang kupu-kupu malam. 

Mungkin jika tuhan masih mau memberiku pengampunan, akan banyak sekali penentangan oleh tangan-tangan dan mulut, dan kaki, dan fikiran korban dari derita kafirnya fikiran. 

Apakah ini juga dialami oleh mereka yang selalu terlihat duduk tenang dengan senyum manis dan di sertai dengan otak kriminal? 

Ataukah ini hanya di khususkan untuk orang yang bertanya pada apapun yang di anggapnya memiliki jawaban? 

Entah mengapa rembulan malam ini terasa sangat jauh dari genggaman , bahkan untuk sekedar menyapanya aku harus berteriak dengan lantang, dan rembulan masih tetap terdiam. Seperti sedang berunding dengan para bintang untuk membawaku ke atas agar bisa mereka jatuhkan. 

Bahkan penghinaan ini beralasan.

Sahabat Kekasih.

Menulis dan membaca, dua sahabat baru yang kini selalu menemaniku setiap hari. Sebenarnya kami sudah lama bersama, bahkan mungkin semenjak usiaku lima tahun aku sudah diperkenalkan dengan sepasang kekasih itu. Tapi rasanya baru saat ini aku benar-benar bisa dekat dengan mereka. Aku tidak tau apakah hubungan ini akan berlangsung selamanya atau putus di tengah jalan. Tapi aku akan berusaha untuk tetap mempertahankan hubungan ini apapun yang terjadi. 

Awalnya mereka adalah orang asing dikehidupanku, bahkan awalnya aku tak terlalu suka pada mereka tapi sekarang baru aku tau bahwa mereka bisa menjadi sahabat yang sangat baik. Mereka selalu menjadi tempat meletakkan semua perasaan ku, mereka bisa menerima ku tanpa syarat, mereka bisa menerima semua perkataan ku tanpa sedikitpun protes. Tak pernah ku sangka aku bisa punya sahabat seperti mereka, sahabat yang selama ini tidak ku anggap kehadiranya. 

Aku telah menemukan sahabatku, bagaimana denganmu?

Sepagi Tadi

Kali ini aku memilih pagi sebagai waktu tepat untuk membuat tulisan ini, aku sudah lelah menemani bantalku bermimpi. Mungkin sekarang masih terlalu pagi, bahkan sekarang aku tak tau apa yang ingin ku tuangkan melalui tulisanku. Bagaimana kalau aku bercerita sedikit tentang hal-hal ringan yang ada di otakku yang masih terasa berat.

Hari ini adalah hari terakhir di bulan september. Aku sadar sudah hampir dua bulan aku berada jauh dari tanah kelahiranku, jauh dari orang-orang yang telah bersamaku dan bergelut dengan kesibukanya di lembar penglihatanku.

Terkadang saat bangun di pagi buta, aku selalu teringat dengan mereka, seperti saat ini. Lalu, apakah ini aneh? Aku rasa iya, karena ini bukan pertama kali dalam hidupku aku jauh dari orang yang selalu mengasihiku.

Hmm...ternyata aku rindu. Sungguh lucu bila difikirkan. Sampai saat ini aku selalu berusaha untuk menyangkal perasaan itu, pada awalnya aku menganggap rindu itu konyol. Tapi jika dipikir lagi, lebih konyol jika aku tak merindukan mereka.

Tapi apa daya, aku hanya bisa berdo’a untuk mereka. Berdo’a agar tuhan berkenan menjaga mereka disana. Berdo’a untuk seorang wanita tua yang lebih cantik dari bidadari, lebih lembut dari para dewi, dan lebih aku sayang daripada seratus nyawaku. Berdoa untuk pria tua yang tak lagi bertenaga seperti dulu, untuk seorang pria tua yang selalu berjuang untuk ku, seorang pria tua yang tak pernah bosan membimbingku, dan seorang pria tua yang menyayangiku lebih daripada nyawanya sendiri.

Hahaha...jika berbicara tentang mereka, mungkin tak akan selesai berapapun lamanya waktu yang aku punya. Bahkan air mata darahpun tidak akan mampu membasuh luka mereka saat bertahun merawatku. 

Tuhan, jika kau mau berbelas kasih padaku, tolong izinkanlah aku untuk setidaknya membuat mereka tersenyum, jangan renggut mereka dariku sebelum kau berikan aku kesempatan itu. Tuhan, mungkin aku orang hina yang tak tau terima kasih padamu. Tapi apalah dayaku tanpa peretolongan darimu.

Tuhan, aku mohon kabulkanlah. Untukmu kekasihku.

Aku

Tentu saja, hari ini bukanlah hari kemarin ataupun hari esok. Dan kejadian hari ini jelas berbeda dengan hari kemarin. Tapi ada yang tidak berbeda dengan hari kemarin. Aku, seperti berjalan di tempat aku menjalani seluruh waktuku. Masih terjebak dalam pendalamanku, masih terperangkap oleh ketidaktahuanku, dan masih tetap menjadi bocah.

Meski begitu, aku tau semua yang ada padaku tidak semata buruk dan menjijikan seperti ingus bocah berandalan. Setidaknya aku masih punya kepercayaan yang sampai saat ini masih ku pegang. Lagipula, aku masih punya sejuta impian dan harapan yang sampai saat ini belum ku lakukan. Jadi, kenapa harus meratap dan menyesali diri, toh sejak dulu aku sudah seperti ini. Mungkin aku hanya perlu mengikuti kemana kaki ini akan membawaku pergi, entah untuk kembali atau menghilang seperti embun yang tersapu mentari pagi. 

Bagiku, kini hanya menjalani takdir yang sudah di tentukan untuk ku, sambil mencoba untuk memperbaiki nasibku tentu. Aku ingin perjalanan panjangku disini tidak berakhir kosong dan tak berarti.

Selasa, 11 Maret 2014

Untuk Kekasihku

Kali ini aku memilih pagi sebagai waktu tepat untuk membuat tulisan ini, aku sudah lelah menemani bantalku bermimpi. Mungkin sekarang masih terlalu pagi, bahkan sekarang aku tak tau apa yang ingin ku tuangkan melalui tulisanku. Bagaimana kalau aku bercerita sedikit tentang hal-hal ringan yang ada di otakku yang masih terasa berat.

Hari ini adalah hari terakhir di bulan september. Aku sadar sudah hampir dua bulan aku berada jauh dari tanah kelahiranku, jauh dari orang-orang yang telah bersamaku dan bergelut dengan kesibukanya di lembar penglihatanku.

Terkadang saat bangun di pagi buta, aku selalu teringat dengan mereka, seperti saat ini. Lalu, apakah ini aneh? Aku rasa iya, karena ini bukan pertama kali dalam hidupku aku jauh dari orang yang selalu mengasihiku.

Hmm...ternyata aku rindu. Sungguh lucu bila difikirkan. Sampai saat ini aku selalu berusaha untuk menyangkal perasaan itu, pada awalnya aku menganggap rindu itu konyol. Tapi jika dipikir lagi, lebih konyol jika aku tak merindukan mereka.

Tapi apa daya, aku hanya bisa berdo’a untuk mereka. Berdo’a agar tuhan berkenan menjaga mereka disana. Berdo’a untuk seorang wanita tua yang lebih cantik dari bidadari, lebih lembut dari para dewi, dan lebih aku sayang daripada seratus nyawaku. Berdoa untuk pria tua yang tak lagi bertenaga seperti dulu, untuk seorang pria tua yang selalu berjuang untuk ku, seorang pria tua yang tak pernah bosan membimbingku, dan seorang pria tua yang menyayangiku lebih daripada nyawanya sendiri. 

Hahaha...jika berbicara tentang mereka, mungkin tak akan selesai berapapun lamanya waktu yang aku punya. Bahkan air mata darahpun tidak akan mampu membasuh luka mereka saat bertahun merawatku. 

Tuhan, jika kau mau berbelas kasih padaku, tolong izinkanlah aku untuk setidaknya membuat mereka tersenyum, jangan renggut mereka dariku sebelum kau berikan aku kesempatan itu. Tuhan, mungkin aku orang hina yang tak tau terima kasih padamu. Tapi apalah dayaku tanpa peretolongan darimu. Tuhan, aku mohon kabulkanlah. Untukmu kekasihku.

Kebenaran dan Lebah

Membicarakan tentang kebenaran yang hakiki, seakan menimba lautan, dan berharap agar laut menjadi kekeringan. Sebagai mahluk-NYA, aku hanya bisa percaya tentang kebenaran-NYA. Sambil melakukan pembelajaran yang berdasar pada keyakinan dan pemberontakan. Hari ini aku berpuasa, bukan dari makan dan minum saja. Aku melihat kebaikan dari banyak orang disekitarku, membuatku semakin keras berfikir. Tapi sampai sekarang aku masih mencoba mencari pembenaran-pembenaran tentang semua yang pernah ku anggap salah tapi tiba-tiba muncul dengan kepercayaan yang membenarkan dirinya sendiri. 

Seperti seekor burung yang berbincang dengan angin tentang keajaiban sayap lebah. Jika di pikir dengan logika, tidak mungkin lebah bisa terbang, alasanya karena sayapnya terlalu kecil dan tidak sesuai dengan berat tubuhnya, tapi kenyataanya lebah bisa terbang bebas sama seperti burung yang terbang mengarungi langit biru. 

Mungkin , aku harus lebih banyak belajar dari lebah dan mempercayai kepercayaanya.

Belajar-Menulis

Masih bergulat dengan angin malam, bermimpi bersama beberapa kebimbangan dan kehausan, berjalan seperti iring-iringan gelas kosong, dan bernyanyi bersama suara-suara yang terbungkam. Ada sebuah penuturan yang baru aku sadari, sebuah gelas tak boleh lebih tinggi dan tak akan lebih tinggi dari cawan air. Mungkin harus di mulai dengan patuh dan menerima serta tak banyak bicara, diam layaknya gelas-gelas lainya. Itu lebih baik dari pada mengucapkan hal kosong yang tidak berguna. 

Aku rasa, aku mulai mencintai mu, karena aku bisa melakukan lebih banyak hal bersamu. Aku bisa berteriak sesuka hatiku tanpa ada yang bisa melarangku. Aku bisa berdua dengan mu dimanapun dan kapanpun tanpa ada yang bisa mengganggu. Aku bisa bercerita apapun kepadamu dan kau tak pernah bosan mendengar semua ocehan ku. Dan yang lebih penting, aku bisa mengembangkan imajinasiku tentang sehelai daun yang jatuh di musim gugur, atau sebatang pohon yang menangis meratapi kejamnya alam, atau tentang kekejaman perang yang tak hentinya membuat orang mengelus dada atau tertawa.

Angin Musim

Ternyata tak ada salahnya menuruti kata hati walau logika berkata tidak. Sebab kini hembusan angin tak lagi asing di telingaku, tak seperti hari-hari lalu, hari dimana aku harus berjibaku dengan kebimbangan. Hari dimana hanya ada satu sisi antara kakalahan atau kemenangan. Hari ini aku telah membuktikan. Menang tidak selalu menjadi pilihan pertama, jika hanya sesaat. Mengalah demi kemenangan akan lebih berarti. Secara teori ataupun logika, itu memang ada di dunia yang dikatakan nyata ini. 

Rasanya belum lagi aku berhenti terheran dengan dunia ini, kenapa angin yang bisu itu bisa bertutur kepadaku, sekedar angin lalu yang membisikan suara yang dulu telah ku kenal. Dan aku termangu, seperti bocah yang mendengar penuturan gurunya tanpa membantah.

Aku berharap musim tidak berganti, karena aku masih membutuhkan angin musim ini. Dan angin selalu berubah atau menghilang

Senin, 10 Maret 2014

Dipersimpangan

Termenung diam di satu titik kehidupan, terombang-ambing di tengah badai perasaan yang tak mengenal belas kasihan. Mencoba terus berjalan dalam kepincangan dan mencoba tetap bersuara lantang dalam kebisuan. 

 Disini, di tengah orang-orang yang pandai berdiskusi, aku belajar untuk menahan diri, menjadikan sebuah kata lebih berarti. Mereka bilang ini untuk diriku sendiri, sepertinya benar, karna ssemua yang ku rasakan sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih baik. Mungkin mulai sekarang aku akan meninggalkan sebuah tradisi. 

 Hmm...seperti anak hilang yang menemukan jalan pulang aku mulai berlari, aku mulai bisa melihat kebaikan dari sesuatu yang aku kerjakan dan tidak selalu berujung pada kebimbangan. Aku berterima kasih padamu TUHAN. Seperti layaknya manusia lainnya, aku juga mengingin kan kedamaian.

Manusia

Belajar mengerti sedikit, belajar menahan sedikit, belajar semuanya sedikit, sedikit demi sedikit. Mungkin aku tidak cocok dengan kata-kata “sebelum berjalan orang harus belajar berlari”, mungkin itu bukan masalah besar.

 Aku berjalan di persimpangan jalan, dimana kebenaran membuatku ragu tentang arti sebuah realitas kehidupan. Tetap harus berjalan walaupun tak tahu arah. Hanya dapat bertanya kepada diri sendiri dan TUHAN.

 Memaki rantai keabadian tentang kehidupan yang berkarat , mendengar rumput berbicara seperti layaknya manusia yang sibuk dengan kegilaannya. 

 Bukan sebuah rahasia, aku memang tak tau segala hal , tapi setidaknya aku tau dimana barat,timur,utara dan selatan. Aku hidup karna berjuang, bukan karna belas kasihan. Sekarangpun aku masih berusaha membuktikan , aku adalah lawan yang berharga di medan perang dan sahabat yang setia di restoran.

Sabtu, 08 Maret 2014

EMANSIPASI WANITA SEBAGAI DALIH UNTUK MENYALAHI KODRAT


     Emansipasi wanita yang juga termasuk dalam gerakan feminisme dewasa ini sudah semakin diakui di mata masyarakat Indonesia dan dunia. Tetapi saat ini pengertian dari feminisme itu sendiri telah disalahgunakan oleh kaum wanita sebagai dalih untuk menyalahi kodratnya sebagai kaum hawa. 

      Feminisme adalah suatu pergerakan yang bertujuan untuk menuntun adanya keseteraan gender antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Feminisme terlahir dari pemberontakan para wanita di abad ke 19 karena merasa tidak terima dengan perlakuan kaum pria terhadap wanita yang mereka anggap semena-mena. Para wanita dipandang sebagai mahluk yang cacat sehingga wanita dinilai tidak memiliki hak apapun di dunia ini. 

     Tetapi pada saat ini, setelah kedudukan wanita diakui dan wanita berhak menentukan dan mendapatkan apa yang diinginkannya, hak-hak itu justru disalah gunakan oleh kaum wanita untuk menyalahi kodratnya sebagai kaum hawa. Salah satu bukti nyatanya adalah keadaan bahwa sekarang ini wanita lebih sering berada di luar rumah dan melupakan tugas utamanya sebagai seorang wanita dan sebagai ibu rumah tangga. Selain itu wanita juga menginginkan kedudukan yang sama dengan para lelaki, padahal agama Islam dengan jelas menyatakan bahwa wanita walau bagaimanapun tetap harus menghormati laki-laki sebagai imam dan sebagai orang yang melindungi mereka. 

    Kesetaraan gender atau emansipasi memang baik, tetapi yang paling penting adalah kesadaran diri manusia atas tugas mereka masing-masing. Kaum wanita yang tidak melupakan kodrat dan tugas mereka sebagai kaum hawa dan kaum pria yang menyadari tugas mereka sebagai imam yang harus melindungi dan memberi contoh kepada kaum wanita. 

       Kesadaran tentang kewajiban dari diri masing-masing adalah hal yang paling baik yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Karena dengan menyadari tugas dari masing-masing individu, manusia akan lebih menghargai dirinya sendiri dan orang lain. Saling menghargai antar sesama manusia dan tidak mengklasifikasikan hak-hak manusia hanya berdasarkan faktor bentuk fisiknya saja, tetapi lebih kepada kemanusiaan dan tugasnya sebagai manusia yang memiliki perbedaan gender. Penyetaraan hak harus dilakukan tetapi tetap tidak boleh melewati batasan-batasan yang tetap harus dijaga dan dipatuhi. Karena batasan itulah yang akan membuat manusia tetap berada pada keadaan yang semestinya tanpa harus merusak tatanan kehidupan yang seharusnya. 

       Batasan  mutlak  diperlukan, karena  jika manusia dibiarkan  bebas tanpa  batas bukan tidak mungkin  manusia akan kehilangan jatidirinya dan menganggap suatu kebenaran sebagai pengekang dari kebebasannya, kemudian mulai membenarkan hasil dari pemikirannya sendiri tanpa memperhatikan kawajibannya yang sebenarnya sebagai seorang manusia.

   Jika penyalahgunaan arti dari feminisme tetap dilanjutkan, bukan tidak mungkin kerusakan-kerusakan akan semakin bermunculan. Apabila para wanita telah melukai kewajibannya sebagai seorang wanita, jadi siapa yang akan menggantikan tugas-tugasnya? Jika seorang ibu rumah tangga telah melupakan tugasnya sebagai seorang ibu dan istri lalu sibuk dengan urusannya di luar rumah, maka tidak akan ada rumah tangga yang harmonis, dan kemungkinan besar rumah tangga tersebut tidak akan bertahan lama. 

       Jadi, bukankah lebih baik jika kita tetap menjaga batasan-batasan yang tidak boleh kita langgar dalam melaksanakan keadilan? Stereotipe yang dibangun tentang penyetaraan gender saat ini telah dipersalah gunakan oleh segelintir orang untuk kepentinganya sendiri. Bukankah lebih baik jika sekarang kita mulai menyadari kewajiban dari diri kita sendiri dan menghargai hak-hak orang lain sambil mencari pembenaran dari hak-hak diri sendiri. Dengan begitu tidak akan ada lagi penindasan terhadap hak seseorang dan tidak ada anggapan bahwa diri sedang tertindas.

Hitam Putih

       Menerapakan pemikiranku tentang sebuah logika dan realita. Dalam kehidupan ku yang benar-benar nyata, seperti burung kijang yang mencoba berlari mengejar citah. Mungkin gila, itu jika di pikiran orang yang waras, waras menurut siapa? Lalu apakah aku ini gila? Jangan pernah berpikir apa yang kulakukan tanpa tujuan, jangan berpikir aku bodoh karna tak pernah memberi alasan. Tapi, coba kau tanyakan pada hatimu yang terdalam, yang kau anggap lebih waras dari apa yang ku lakukan. Jika kau ingin mencari kebenaran maka kau juga harus tau tentang kesalahan. Lalu apakah aku masih gila seperti yang pernah kkau pikirkan? 

       Jika manusia berkata “cobalah sebisa mungkin hindari kesalahan”, lalu aku berfikir manusia tidak mengenal kegelapan, kapan dia akan bersahabat dengan terang ? 

       Biarlah jiwa ini mengikuti seleksi alam.

Cermin

Mencoba menjalani hari tanpa sebuah kreasi seperti hari-hari biasa yang sudah ku lewati. Rasanya seperti berjalan di sebuah garis lurus, aku bebas berjalan asalkan tetap mengikuti garis yang ku pijak. Perasaan ini membuat ku tak henti berfikir, apakah ini memang diriku, karena aku bahkan hampir tak mengenali wajah siapa yang setiap hari ku lihat saat aku berhadapan dengan cermin, samapai ketika sebuah cermin besar berhasil mengingatkan ku. Menyadarkan dengan cara berteriak keras di telingaku, dan menyadarkan tentang hal-hal yang belum aku tau tentang diriku. 

 Saat aku tersadar bahwa orang yang selama ini aku kenal dengan baik, adalah orang yang paling tidak aku kenal. Disaat aku mengenal orang asing yang sama sekali belum pernah ku kenal sebelumnya. Ternyata aku salah, aku tidak tau apa-apa. 

Tapi aku bersyukur, aku mendapat hadiah cermin dari tuhan sebagai balasan atas doaku, dan aku berharap cermin itu tidak akan retak.  

Mimpi

Menapaki perjalanan yang di penuhi dengan pembelajaran. Aku tidak tau terbuat dari apa dunia ini, karena yang aku baca dari buku pelajaran tak selalu bisa menjelaskan kenyatan yang telah terjadi di depan mataku. Dalam perjalanan seribu mimpi di dunia nyata demi membedakan sebuah kenyataan dan bayangan semu, mencari sebuah cahaya dalam gelapnya mata dunia. 

Ternyata sakit mengetahui sebuah kebenaran, tak seperti kebohongan yang selama ini membuatku nyaman, hingga tak mau tau tentang kenyataan, seperti orang yang hidup dalam dunia impian. Tapi, senyata apapun mimpi, tetaplah tidak lebih dari sekedar mimpi, ia tak pernah menjumpai kita walaupun hanya untuk sekedar minum kopi dan membaca buku juga tak pernah menyapa ketika hari telah sepi.

Diam

Setiap hari setelah menuliskan apapun disini, aku berharap catatan ini bisa memberi balasan atau jawaban atau sangkalan atau apapun , setidaknya dia tidak hanya selalu terdiam dan tak acuh terhadap semua harapanku. Sudah teralalu banyak benda yang diam di sakalilingku. Bahkan hari ini aku pun harus lebih banyak berdiam menahan semua rasa ku, hanya karena rasaku ini terbentur dengan kerasnya dinding peraturan. Ya, lagi-lagi peraturan yang menjengelkan, dia seperti tak pernah puas selalu menghalangi langkahku hingga membuat aku malas untuk meneruskan langkah. 

 Itu pernah terjadi, tapi akhirnya sang kopi hitam berhaasil menyadarkanku. Dengan sifatnya yang seperti tak acuh tetapi bersimpati lebih daripada sang pencerah yang setiap hari berdiri di depanku untuk menjadi pohon yang tidak pernah bisa ku rangkul dan peluk. Bisu tapi terus bertutur, buta tapi melihat kesalahanku, tuli tapi mendengar keburukanku. Semoga semua ini cepat berlalu bersama semua tugasku yang selesai meskipun tidak tepat waktu.

Minggu, 02 Maret 2014

Bebas

Berusaha mengenali diri dengan mengenali orang lain. Lucu memang, seolah mengerti akan seseorang, tapi bahkan aku tak tau yang ada di hatiku. Itulah sebabnya aku belajar, mencoba mengetahui apa yang aku tak tau. Mencoba mengerti orang yang tak mengerti aku. Hmm.. seperti bercengkrama dengan batu besar yang siap untuk jatuh di kepalaku. Memang aneh, aneh sekali, sangat aneh.

 Terkadang aku berfikir betapa tak adil hidup, kenapa aku harus mengerti tanpa di mengerti, kenapa harus aku yang mengalah. Apa sebenarnya makna dari kata yang tak terucap? Apa sebenarnya maksut deraian ombak yang riyuh tapi tak berucap? Apa maksut dari alam yang menyampaikan pesan lewat tingkahnya yang tak dapat ku tebak?

Aku bersukur, di persimpangan jlan ini masih ada orang gila yang mau membimbingku. Bahkan mungkin hanya mereka, sekumpulanmanusia yang bisa menjawab semua pertanyaan ku. Dan di sini aku tau, aku tak boleh lagi menahan diriku dan aku bisa hidup “bebas” semauku.

 Aku beri saran untukmu, sekedar meneruskan kata,” jangan pernah menahan diri, akan ada dan akan selalu ada pertentangan batin dalam dirimu. Kenali dirimu”.(CDV_T)

Sahabat

Menulis dan membaca, dua sahabat baru yang kini selalu menemaniku setiap hari. Sebenarnya kami sudah lama bersama, bahkan mungkin sejak pertama bertemu ibu bumi aku sudah diperkenalkan dengan sepasang kekasih itu, tapi rasanya baru saat ini aku benar-benar bisa dekat dengan mereka. Aku tidak tahu apakah hubungan ini akan berlangsung selamanya atau putus di tengah jalan. Tapi aku akan berusaha untuk tetap mempertahankan hubungan ini apapun yang terjadi.

Awalnya mereka adalah orang asing dikehidupanku, bahkan awalnya aku tak terlalu suka pada mereka tapi sekarang baru aku tau bahwa mereka bisa menjadi sahabat yang sangat baik. Mereka selalu menjadi tempat untukku meletakkan semua perasaan ku, mereka bisa menerima ku tanpa syarat, mereka bisa menerima semua perkataan ku tanpa sedikitpun protes. Tak ku sangka aku bisa punya sahabat seperti mereka, sahabat yang selama ini tidak ku anggap kehadiranya.

Aku telah menemukan sahabatku, bagaimana denganmu?

Sadar Diri

Tentu saja, hari ini bukanlah hari kemarin ataupun hari esok. Dan kejadian hari ini jelas berbeda dengan heri kemarin. Tapi ada yang tak berbeda dengan hari kemarin. Aku, seperti berjalan di tempat, menjalani hari-hariku. Masih terjebak dalam lautan pilu, masih terperangkap oleh ketidaktahuanku, dan masih tetap menjadi bocah. 

Meski begitu aku tau, semua yang ada padaku tidak semata buruk dan menjijikan seperti ingus bocah berandalan. Setidaknya aku masih punya kepercayaan yang sampai saat ini masih ku pegang. Lagipula, aku masih punya sejuta impian dan harapan yang sampai saat ini belum ku wujudkan. Jadi, kenapa harus meratap dan menyesali diri, toh sejak dulu aku sudah seperti ini. Mungkin aku hanya perlu mengikuti kemana kaki ini akan membawaku pergi, entah untuk kembali atau menghilang seperti embun yang tersapu mentari pagi. Bagiku, kini hanya menjalani takdir yang sudah di tentukan untuk ku, sambil mencoba untuk memperbaiki nasibku tentu. Aku ingin perjalanan panjangku disini tidak berakhir kosong dan tak berarti. 

Oh alam, marilah bimbing aku melewati semua jalan hidup ini.