Jumat, 12 September 2014

Ilmu

Ilmu 

      Sore itu, seperti biasa Boneng, Ganden dan Bombom sedang nongkrong di warung kopi di depan universitas. Warung itu memang sudah menjadi tempat bagi untuk berkumpul sambil menggunjing dan memperbincangkan banyak hal. Mereka hanya kelompok pengangguran tamatan SMP.

      ”Ini kan sudah sore, tapi kok masih panas, ya?” ujar boneng memulai. 
       ”Memang kapan ada hari yang nggak panas di Madura ini?” jawab Bombom, sinis. 
      ”Kalian ini ngeributin apa, sih? Mendingan hitung itu sudah berapa gelas kopi yang kalian minum,”sahut Ganden. 
       ”Heh, kalian kapan mau cari kerja? Nggak capek kalian jadi pengangguran terus?” Tanya Bombom. 
      ”Kerja apa Mbom, kita kan cuma lulusan SMP. Mana ada jatah kerjaan buat kita? Kalian lihat itu mahasiswa-mahasiswa baru, mereka pasti berpikir kalau masa depan mereka nanti akan cerah dan mudah untuk dijalani. Tetapi aku bisa pastikan kalau pikiran itu akan hilang beberapa tahun lagi, setidaknya setelah mereka menyadari kalau universitas yang mereka banggakan itu adalah universitas pinggiran yang tidak akan bisa banyak membantu mereka di masa depan,” jawab Ganden. 
       ”Halah lambemu Nden, gembel pengangguran aja sok-sok intelek,” protes kawannya. 
      ”Lho, itu kan kenyataan, coba kalian pikir, tahun ini saja ada lebih dari 3000 mahasiswa baru di universitas ini, belum ditambah tahun-tahun yang lalu. Apalagi kalau di hitung yang ada di universitas lain di negeri ini yang jumlahnya tidak lebih sedikit dari kutu yang ada di rambut kalian. Lha, mereka pasti berharap dengan kuliah, mereka akan mudah menjalani masa depan, heheh preettt. Sekarang ini sudah banyak mahasiswa lulusan perguruan negeri ternama yang menganggur, apalagi cuma mengandalkan ijazah dari universitas seperti ini. Itu kan goblok sekali,” sambung Ganden.
    ”Kamu ini ngomong apa, Nden? Terus kamu berharap para mahasiswa ini mengikuti jejakmu yang suram itu? Kamu berharap penerus negara ini mengikuti langkahmu yang mblangsak ini? Dusomu gedi cokk..!!!’’ bantah Boneng.
     ”Setidaknya aku memiliki kebanggan sebagai seorang pengangguran yang hanya lulus SMP. Setidaknya aku tidak menghabiskan harta orang tuaku lebih banyak lagi untuk mencari ijazah yang sebenarnya tidak berguna,” tambah Ganden.
      ”Itu kan katamu, jaman sekarang ini nyari kerja gak punya ijazah S1 atau S2, ya, susah. Ya seperti raimu ini,” bantah Bombom. 
     ”Kalian pernah dengar baru-baru ini ada berita sarjana lulusan S2 universitas ternama mengajukan permohonan ke MK untuk di suntik mati? Alasanya karena sudah terlalu lama tidak mendapat pekerjaan. Itu hanya satu dari ribuan sarjana yang bernasib sama, hanya yang lain gak ikut minta di suntik mati.”
     ”Tapi setidaknya mereka kan punya niatan baik untuk menuntut ilmu. Itu kan sunah rosul, Nden. Dapet pahala, lo!” Ujar Boneng, sambil menghabiskan sisa kopinya.
       ”Oke, sekarang kita kira-kira saja. Dari 3000 mahasiswa, ada berapa ekor manusia yang memiliki niatan seperti itu? Saya rasa tidak lebih dari satu banding seratus. Sisanya hanya berharap ijasah untuk mendapat pekerjaan yang mapan setelah lulus nanti,”
        ”Lalu seperti apa, sih, yang menurutmu baik itu?” Tanya Boneng penasaran.
     ”Pertama, perbaiki niat sebelum datang ke universitas. Karena niat itu penting, ya, seperti yang kamu bilang tadi, kalau niatnya bener setidaknya mereka dapat pahala dan ditambah dengan ijazah. Yang kedua, jangan cuma bergantung sama pelajaran di kelas. Artinya mereka harus cari wawasan lain selain cuma mengandalkan guru dan dosen. Karena para pengajar itu bukan dewa yang selalu benar. Yang ketiga, sadari kalau diri mereka itu sebenernya bodoh, ehh… bukan bodoh, tapi tolol, makanya jangan tinggi hati hanya karena sudah menjadi mahasiswa. Kalau mereka sudah menyadari kalau mereka bodoh, ya, mereka harus belajar,” tutur Ganden. 

     Boneng tercengang melihat Ganden sedari tadi ngoceh tentang sesuatu yang asing baginya namun terasa masuk akal. Dia membenarkan letak tempat duduknya dan mencoba mencari tau.

      ”Tunggu, tunggu. Aku penasaran denganmu. Kata-katamu masuk akal. Tapi, kau kan hanya lulusan SMP. Dari mana kau tau semua itu?” tanya Boneng dengan wajah ingin tau.
       ”Nah, inilah yang harus kamu ketahui. Tidak perlu harus S1, S2 dan S3 untuk bisa tahu semua ini. Aku pikir ini adalah masanya dimana informasi dan pengetahuan tidak terkotak-kotak dan dimonopoli Universitas. Koran, televisi dan internet bukan hanya milik mahasiswa. Semua orang bisa mendapat wawasan dari mana saja ia suka. Sekali lagi tidak harus di kampus.” Ganden menerukan kata-katanya, ”Setiap orang yang berpendidikan rendah tidak selamanya terpuruk. Kita harus percaya bila Tuhan itu adil pada hambanya. Oya, aku akan memberikan contoh padamu. Di Kulonprogo, Jogja, ada sekumpulan petani yang mendiami lahan pantai yang tanahnya penuh material besi. Mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bercocok tanam di sana. Kalau kita logikakan, seharusnya mereka tidak bisa menanam di lahan pasir karena mereka hanya orang desa dengan pendidikan rendah. Tapi, nyatanya, sampai hari ini mahasiswa pertanian terbaik di ITB masih belum dapat melakukan hal serupa. Ini merupakan satu bukti, bahwasannya pendidikan di Universitas bukan segala-galanya,” kata Ganden.
      ”Lalu apa yang harus kita lakukan agar kita bertahan dalam situasi yang seakan mem- buat kita terpuruk ini? Ya, kau tau sendiri, kan? Kita hanya lulusan SMP?” tanya Bombom. 
    ”Belajar dari alam, manusia, dan Tuhan. Jangan menyempitkan pikiran seolah-olah bangku sekolah adalah satu-satunya sumber ilmu. Kita harus menyadari ada sumber lain yang lebih besar,” jawab Ganden sambil tersenyum. 

     Bombom dan Boneng melongo sambil menggaruk-garuk kepala karena heran teman mereka nerocos tentang sesuatu yang berada di awang-awang. 

        ”Kamu kesurupan ya Nden?” tanya Boneng, masih terheran. 
     ”Ya sudah, kita pikir sambil jalan saja. Nanti kalau kebanyakan mikir, kalian malah jalan-jalan sambil keramas, hahaha... Sudah sore, ayo pulang. Aku belum mencari rumput untuk kambing-kambingku” kata Ganden, sambil tertawa melihat teman-temannya yang kebingungan. 

       Setelah ngoceh tidak karuan, Ganden pergi meninggalkan Bombom dan Boneng yang masih tidak habis pikir dengan kata-kata Ganden yang sangat aneh. 

Madura, 19 Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar