Jumat, 12 September 2014

Komunis

Komunis 

         Kalau di luar sana banyak penulis yang mengabadikan sejarah tentang kekejaman, keslahan, dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang yang menganut paham komunisme lewat tulisannya, saya pasti setuju dengan mereka. Tapi, kalau sampai di luar sana ada penulis yang mendukung komunisme dalam tulisannya, saya juga setuju. Memang apa pentingnya buat saya? Toh, apapun yang mereka tulis, komunis, perang, pembantaian, kedaulatan, perdamaian atau apapun itu, tidak akan berpengaruh dalam hidup saya –setidaknya itu hasil analisis saya terhadap pemikiran kebanyakan teman-teman saya di kelas. 

            Sebenarnya ada yang mengganjal dalam otak saya. Mungkin mereka benar. Dengan semua yang ada saat ini, baik itu sistem pendidikan, paham ekonomi, dan seluruh rentetan kejadian dalam keseharian saya dan kami, selalu hanya bermuara pada keuntungan pribadi dan tidak pernah jauh dari Ru-pi-ah. Sehingga, mungkin dalam pikiran mereka – teman-teman saya lho, kalu bukan teman saya ya nggak- sudah tidak ada tempat lagi untuk memikirkan hal-hal yang terlalu jauh dan tidak pernah terlihat dalam wujud nyata yang bisa menampar wajah mereka seperti layaknya mantan pacar yang mengajak putus karena mengetahui pasangannya selingkuh. Lho kan...

         Tetapi apakah persepsi itu harus saya benarkan? – harusnya sih iya, lha wong walaupun itu hasil analisis, tapi kan tetap hasil pemikiran saya sendiri. Masak saya menyangkal pikiran saya sendiri? – ”jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” kata Bung Karno. ”setiap kejadian dalam kehidupan pasti saling berhubungan, bahkan kejadian yang sudah samasekali atau hanya hampir terlupakan” nggak tau kata siapa (sak gelemku lah, tulisan yo tulisanku tenan!!!). Selain itu saya masih percaya dengan adanya konsep tanggung jawab. Setiap mahluk hidup yang berfikir pasti memiliki tanggung jawabnya sendiri, baik kepada mahluk lain maupun kepada penciptanya (tapi kalau robot yang di film-film hollywood itu bagaimana ya?). tidak sepantasnya kita sebagai mahluk sosial yang hidup, bernafas, bersenggama dan beranak karena sejarah, merasa tidak memiliki kepentingan dengan perkembangan hal-hal yang kita anggap jauh – menurut saya sih dekat, contohnya di depan kampus saja ada praktik komunisme- dan tidak memiliki wujud nyata yang dapat dilihat sewaktu-waktu sesuka dengkul kalian. Apalagi kalau orang itu memiliki embel-embel “manusia berpendidikan”, 'kan keterlaluan kalau sampai acuh kepada masalah yang seperti itu –kumunisme. 

            Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi hal yang semacam ini? (kita? Loe aja kale, gue nggak. Aku loh cuek cokk...!!!) sebagai mahasiswa –sombong- saya belum bisa menjawab pertanyaan itu, karena Dosen saya belum mengijinkan saya untuk membuat teori sendiri meskipun saya sudah belajar selama bertahun-tahun. Tapi sebagai manusia yang diberi berkah berupa pikiran oleh Tuhan, sebagai bentuk terimakasih saya kepada Tuhan, saya akan berusaha untuk menjawab. 

         Mugkin kita semua sudah tau bagaimana sejarah Negara Indonesia, atau mungkin kalau saya menuliskan G 30 S PKI, anda akan tau apa yang saya maksut, tapi kalau anda masih tidak mudeng, yo matio wae... sejarah Indonesia bukan hanya cerita manis yang bisa membuat orang tertawa apabila dituliskan dalam novel atau karya tulis lain. Alangkah kurang ajar kalau kita sampai lupa atau tidak mau lagi mengenang dan mengingat serta memahami apa yang diperjuangkan oleh orang-orang yang berani kepalanya di potong hanya untuk bisa mengakkan “keadilan”. Kualat kon, mati mlebu neroko jahanam.. 

Madura, 13 September 2014

2 komentar:

  1. oooo.....
    bunder tenan ndasmu!
    kwkwkwkwkwkwk...

    terus apakah sekarang manusia harus menuhankan demokrasi dan berkliblat pada amerika dengan kapitalismenya?

    jika disuruh memilih aku lebih memilih negara sosialisme.

    BalasHapus